Seorang pengelola dalam transaksi qiradh yang fasid (rusak) berhak menerima upah yang sepadan, sekalipun usahanya tidak membawa keuntungan, sebab dia mau bekerja demi mengharapkan keuntungan yang dijanjikan transaksi qiradh.
Termasuk transaksi qiradh yang rusak menurut Ibnu Ziyad ialah suatu hal yang biasa dilakukan oleh sebagian kalangan orang, yaitu menyerahkan sejumlah harta kepada orang lain untuk dikelola, dengan syarat harap dikembalikan setiap sepuluhnya menjadi dua belas, tanpa memandang apakah dia memperoleh keuntungan atau mengalami kerugian.
Keuntungan dan kerugian menjadi tanggungan pemilik modal
Pihak ‘amil (pengelola) hanya berhak memperoleh upah yang sepantasnya, sedangkan semua keuntungan dan kerugian sepenuhnya ditanggung oleh pemilik modal. Kedudukan ‘amil terhdapa modal yang dikelolanya adalah sebagai orang yang dipercaya. Oleh sebab itu jika dia berlaku sembrono dalam pengelolaannya, misalnya melampaui tempat yang diizinkan oleh pemilik modal untuk usahanya, maka pengelola harus menanggung kerugian (jika ada barangnya yang rusak).
‘Amil tidak memperoleh upah jika dalam transaksi qiradh yang rusak disebutkan bahwa semua keuntungan adalah untuk pemilik modal, sebab sudah jelas dia melakukannya secara kerja bakti.
Cukup beralasan jika dikatakan bahwa ‘amil tidak berhak mendapat suatu upah pun jika dia mengetahui bahwa transaksi qiradh-nya rusak dan dia tidak akan mendapat upah.
Tetapi tasharruf (pengelolaan) yang dilakukan oleh ‘amil dalam transaksi qiradh yang rusak dianggap sah (jka dia tidak mengetahui bahwa transaksi qiradnya rusak). Hanya, tidak halal baginya melakukan pen-tasharruf-an sesudah dia mengetahui bahwa transaksi qiradh-nya rusak.