Seandainya terjadi perselisihan antara ahli waris dan penerima hibah, tentang apakah hibah diberikan di saat sehat atau di saat orang yang bersangkutan sedang sakit, maka yang dibenarkan adalah pihak penerima hibah melalui sumpahnya.
Seandainya seseorang menghibahkan sesuatu di saat sehat, sedangkan penyerah terimaannya baru dia lakukan di saat sedang sakit, maka hibah tersebut dianggap termasuk dari sepertiga.
Hibah yang dilaksanakan di saat dia sedang sakit, diperhitungkan dari seluruh hartanya; perihalnya sama dengan biaya (qadha) haji fardu dan memerdekakan budak perempuan yang punya anak dari si mayat.
Ahli waris dan penerima derma saling mendakwa
Seandainya ahli waris mendakwakan bahwa kematiannya terjadi di saat sedang sakit yang saat itu dia berderma, sedangkan orang yang menerima derma mendakwakan bahwa penerima telah sembuh dari sakit tersebut dan baru meninggal karena sakit yang lain lagi secara mendadak, maka jika sakit yang di dakwakan ahli waris cukup parah, pihaknya dapat dibenarkan; tetapi jika sakitnya ringan, yang dibenarkan adalah pihak lain (penerima hibah).
Seandainya kedua belah pihak berselisih pendapat mengenai saat pen-tasharruf-an penderma yang telah tiada, apakah dilakukan ketika ia masih sehat atau ketika ia sakit, maka yang dibenarkan adalah pihak penerima derma karena pada asalnya pihak penderma dalam keadaan sehat. Jika kedua belah pihak mengajukan bukti masing-masing, maka yang diprioritaskan adalah bukti yang menyatakan bahwa penderma sakit.
Sumber: Kitab Fat-hul Mu’in karangan Zainuddin bin Abdul Aziz al Malibari al Fannani