Imam Syafii r.a. mengatakan, “Apabila seseorang dituduh berbuat murtad, sedangkan dia adalah seorang muslim, maka aku tidak akan menyuruhnya mengulangi lagi apa yang telah ia katakan, melainkan aku akan berkata kepadanya, ‘Katakanlah bahwa aku bersaksi tidak ada Tuhan selain Allah, dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah, dan bahwa engkau telah berlepas diri dari semua agama yang bertentangan dengan agama islam’.”
Dari ucapan Imam Syafii tadi yang mengulangi lafaz Asyhadu, dapat disimpulkan bahwa hal tersebut merupakan suatu keharusan bagi sahnya islam seseorang.” Demikian menurut apa yang tersimpul dari perkataan Imam Rafi’i dan Imam Nawawi.
Akan tetapi, ada segolongan ulama (dari kalangan mazhab yang sama) berpendapat berbeda dalam masalah ini. Hanya, di dalam beberapa hadis terdapat dalil yang memperkuat hujah masing-masing.
Dianjurkan memerintahkan setiap orang yang masuk islam untuk beriman kepada adanya hari berbangkit.
Disyaratkan agar islam bermanfaat bagi orang yang bersangkutan kelak di hari kemudian, di samping melakukan hal-hal yang telah disebut di atas (mengucapkan kalimah syahadat dan membersihkan diri dari semua agama selain islam), disyaratkan percaya dalam hati akan keesaan Allah swt, percaya kepada rasul-rasul-Nya, kitab-kitab-Nya, dan percaya kepada hari kemudian.
Jika ia meyakini semua itu, sedangkan dia tidak melakukan hal yang telah disebut sebelumnya (mengucapkan kalimah syahadat dan lain-lainnya), maka dia belum dinamakan seorang mukmin. Tetapi jika dia melakukan hal yang pertama, yakni mengucapkan syahadatain, tanpa dibarengi dengan kepercayaan hati, maka diberlakukan terhadapnya hukum duniawi yang tampak (sedangkan di akhirat dia dihukumi sebagai orang yang bukan mukmin, melainkan munafik)
Sumber: Kitab Fat-hul Mu’in karangan Zainuddin bin Abdul Aziz al Malibari al Fannani