Jika pemberi wakaf mengglobalkan persyaratan wakafnya, maka yang harus diikuti ialah menurut ketentuan tradisi yang berlaku di zamannya, sebab tradisi sama kedudukannya dengan syarat yang ditetapkannya. Kemudian hasil wakaf dialokasikan untuk apa yang dimaksudkan oleh kebanyakan pemberi wakaf.
Berdasarkan penertian tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa dilarang menggunakan air yang diwakafkan di pinggir-pinggir jalan kecuali untuk diminum, dan dilarang memindahkan air tersebut ke tempat asalnya sekalipun tujuannya sama untuuk diminum.
Sebagian ulama ada yang melakukan penelitian. Mereka menyimpulkan bahwa haram meludah dan membasuh kotoran di dalam air yang disediakan untuk bersuci di masjid, sekalipun air tersebut jumlahnya banyak.
Allamah Thanbadawi pernah ditanya mengenai masalah kantong-kantong dan gentong-gentong berisikan air yang berada di dekat masjid. Jika tidak diketahui apakah air tersebut diwakafkan untuk minum atau untuk wudhu, untuk mandi wajib atau mandi sunat, atau untuk mencuci najis.
Maka ia menjawab, “Apabila ada qarinah (tanda-tanda) yang menunjukkan bahwa air tersebut disediakan buat penggunaan secara umum, maka air tersebut boleh digunakan untuk minum, mencuci najis, dan mandi jinabah serta penggunaan lainnya.”
Termasuk qarinah tersebut ialah kebiasaan yang dilakukan oleh orang banyak dalam menggunakan air itu untuk keperluan umum tanpa ada protes dari kalangan ilmu fiqih dan lainnya.
Karena secara lahiriah pengertian tiada protes ini menunjukkan bahwa mereka mewakafkan air untuk diambil manfaatnya secara umum, baik untuk mencuci, minum, wudu, ataupun mencuci najis. Hal yang serupa dengan penggunaan ini dapat dikatakan boleh.
Thandabawi mengatakan, “Sesungguhnya fatwa Allamah Abdullah Bamakhramah sesuai dengan apa yang telah disebutkan.”
Tetapi Al-Qaffal dan orang-orang yang mengikutinya mengatakan bahwa diperbolehkan mensyaratkan adanya jaminan dari pihak peminjam kitab yang diwakafkan. Jaminan tersebut diambil oleh nazhir (pengurus) wakaf untuk mendorong peminjam agar kelak mengembalikan kitab tersebut. disamakan dengan syarat jaminan ini syarat lainnya, yaitu menanggung (kerusakan).
Sebagian ulama ada yang mengatakan sehubungan dengan masalah wakaf untuk Nabi saw atau nazar kepadanya, bahwa hal tersebut dibelanjakan buat perbaikan kamar beliau saw saja. Atau bila wakaf diperuntukkan buat penduduk sebuah kota, maka hasilnya diberikan kepada orang yang bermukim di kota tersebut atau kepada orang kota itu yang sedang tidak ada di tempat karena suatu keperluan yang mengharuskannya pergi, tetapi nisbat orang tersebut kepada kota itu menurut ukuran tradisi belum terputus.
Sumber: Kitab Fat-hul Mu’in karangan Zainuddin bin Abdul Aziz al Malibari al Fannani