Syarat mengeluarkan zakat ada dua, satu diantaranya adalah niat di dalam hati, tidak cukup dengan ucapan, seperti, “Ini zakat hartaku”, sekalipun lafaz fardunya tidak diucapkan, sebab semua zakat adalah fardu; atau “ini sedekah fardu”, atau “ini zakat hartaku yang difardukan.”
Tidak cukup dengan ucapan “ini kefarduan zakatku”, sebab maksudnya dapat mengarah ke kifarat atau nadzar, dan tidak wajib menentukan harta yang dikeluarkan untuknya (yang dizakati) dalam niat.
Seandainya orang menentukan zakat hartanya (misalnya “ini zakat untuk menzakati padiku dari sawah ….”), maka tidak jatuh selain padi sawah tersebut sekalipun jelas (padi) yang ditentukan itu rusak, sebab dia tidak bermaksud kepada selain (padi) yang tertentu.
Oleh sebab itu, kalau ia berniat “jika (padi termaksud) rusak, maka untuk menzakatinya dari (padi sawah) yang lain”, lantas padi sawah tersebut ternyata rusak, maka jatuh kepada yang lain.
Berbeda dengan ucapan “ini zakat hartaku yang gaib (di …..) jika masih tetap (ada)”, atau “ini sedekah” (maka tidak mencukupi dari zakat), sebab tidak memastikan dengan maksud fardu.
Bila orang berkata “(ini zakat hartaku). Kalau harta itu rusak maka jatuh sedekah”, ternyata hartanya rusak maka jatuh sedekah, atau hartanya masih ada (tetap) maka jatuh zakat.
Jka orang yang telah wajib berzakat kemudian ragu-ragu dalam pembayarannya (apakah sudah atau belum), lalu ia mengeluarkan sesuatu dan ia berniat “kalau aku masih mempunyai kewajiban zakat, maka ini sebagai zakatnya, dan kalau sudah terpenuhi, maka ia jatuh sunat.” Bila jelas atasnya kewajiban zakat, maka pengeluaran itu mencukupi zakat; jika tidak, jatuh baginya sunat.
Tidak mencukupi sebagai zakat secara pasti (yakin), jika memberikan harta kepada para mustahiq zakat tanpa niat.
Tidak disyaratkan menyertakan niat ketika memberikan zakat, bahkan cukup niat itu sebelum melaksanakan pemberian kalau niatnya ketika memisahkan ukuran zakat dari harta, ketika memberikan kepada wakil atau kepada utusan pemerintahannya. Yang afdhal adalah wakil atau utusan pemerintah itu berniat lagi ketika membagikan kepada para mutahiqnya.
Atau sudah mencukupi adanya niat setelah memisahkan salah satu dari ukuran zakat atau mewakilkan, sebelum membagikannya (kepada para mustahiq), sebab sukar menyertakan niat dengan membagikan kepada semua mustahiq.
Jika seseorang berkata kepada orang lain “bersedekahlah kamu dengan harta ini” lalu orang itu berniat zakat sebelum menyedekahkan harta itu, dengan demikian (niat tersebut) mencukupi sebagai zakatnya.
Bila orang berkata kepada orang lain “terimalah piutangku dari si fulan, dan piutang itu (kalau ia membayar) bagimu adalah zakatku” itu belum cukup, sehingga ia harus berniat zakat sesudah menerima piutang itu, lalu mengizinkan orang lain untuk menerimanya.
Hukum mewakilkan zakat (niat) kepada orang lain dan haram mengakhirkan membayar zakat
Sebagian ulama memberikan fatwa bahwa mewakilkan secara mutlak dalam mengeluarkan zakat (termasuk atau berarti) mewajibkan pula dalam mewakili niatnya. Tidak wajib niat dari yang mewakilkan, bahkan cukup niatnya itu dari wakil.
Fatwa itu membutuhkan pemikiran, bahkan yang berlaku sesungguhnya wajib ada niat dari pemilik harta atau yang menyerahkan niat itu kepada wakilnya.
Syeikh Mutawalli dan lainnya berkata “Ditentukan (wajib) adanya niat dari wakil bila tiba pelaksanaan fardu itu dari hartanya (maksudnya harta yang dikeluarkan untuk zakat itu dari wakilnya), seperti kata yang mewakilkan kepada wakilnya “laksanakanlah zakatku ini dari hartamu”, supaya beralih pekerjaan wakil kepada muwakkilnya. Ucapan muwakkil kepada wakilnya yang demikian itu, mengandung arti mengizinkan kepada wakil dalam berniat.”
Syeikh Qaffal berkata, “Seandainya orang berkata kepada yang lainnya ‘pinjamilah oleh engkau kepadaku lima….. dan laksanakanlah lima…… itu sebagai zakatku,’ lalu orang itu mengerjakannya, maka hal itu sah hukumnya.” Yang demikian itu berdasarkan atas pendapat Syeikh Qaffal dengan memperbolehkan tunggalnya yang menerima dan yang menyerahkan.
Haram mengakhirkan mengeluarkan zakat sesudah cukup haulnya dan imkan mengeluarkannya (karena hartanya dan mustahiqnya sudah ada). Pemilik harus menanggung kerugian (seukuran harta zakat) kalau hartanya rusak, padahal sudah imkan mengeluarkannya dengan hadirnya harta dan mustahiq zakatnya; atau karena ia merusak hartanya sendiri (membiarkannya dari yang merusak, misalnya membiarkan dicuri atau dimakan hama) sesudah satu haul walaupun sebelum imkan mengeluarkannya.
Bagaimanakah niat zakat bagi yang berserikat dan hukum mewakilkan niat zakat serta zakat anak kecil & orang gila
Dua orang yang berserikat boleh mengeluarkan zakat harta persekutuan tanpa izin temannya , sebagaimana telah dikatakan oleh Syeikh Jurjani dan telah ditetapkan oleh yang lainnya, sebab ada izin syara’ pada masala tersebut (dua harta yang dicampurkan seperti hukum satu harta atau milik seorang). Telah cukup adanya niat yang memberikan zakat, untuk mewakili niat salah seorang pesero lainnya, menurut kaul yang termasyhur.
Sebagaimana sabda Nabi saw, “Tidak dihimpunkan barang yang terpisah dan tidak dipisahkan barang yang terkumpul karena takut kena zakat.”
Boleh mewakilkan (dalam mengeluarkan) zakat kepada orang kafir dan anak-anak untuk diserahkan kepada orang yang ditentukan, yakni orang yang diberi zakat ditentukan oleh orang yang mengeluarkan zakat, tidak secara mutlak (dalam mewakilinya).
Tidak boleh menyerahkan niat kepada mereka, sebab bukan ahlinya. Boleh mewakilkan kepada selain kedua orang tersebut dalam memberikan zakat dan sekalian dengan niat.
Wali wajib berniat, dalam mengeluarkan zakat harta anak kecil dan orang gila. Kalau tidak berniat, maka menjadi tanggungannya (harus mengganti), disebabkan kelalaiannya (tanpa niat). Jika yang mengeluarkan zakat memberikan atau menyerahkan kepada pemerintah tanpa niat dan ia tidak mengizinkan pemerintah untuk meniatkan zakatnya, maka tidak cukup dengan adanya niat dari pemerintah (sebab pemerintah itu merupakan pengganti para mustahiq).
Zakat itu sempurna (sah) dengan diniatkan oleh imam (pemerintah) ketika mengambilnya dengan paksa dari orang yang menolaknya, walaupun pemilik harta tidak berniat zakat.
Pemilik harta, bukan wali anak-anak, boleh mendahulukan mengeluarkan zakat sebelum genap haulnya, bukan sebelum cukup satu nisab (untuk) selain zakat tijarah. (adapun tijarah, boleh mendahulukan zakat sebelum sampai nisab).
Tidak boleh mendahulukan zakat untuk dua tahun menurut kaul yang ashah. Pemilik boleh mendahulukan zakat fitrah sejak awal ramadhan. Adapun pada harta tijarah, maka mencukupi mendahulukannya, walaupun belum memiliki satu nisab; dan ketika mendahulukan mengeluarkan zakatnya itu harus berniat, misalnya “Aku dahulukan zakatku ini”
Haram mengakhirkan mengeluarkan zakat sesudah cukup haulnya dan imkan mengeluarkannya (karena hartanya dan mustahiqnya sudah ada). Pemilik harus menanggung kerugian (seukuran harta zakat) kalau hartanya rusak, padahal sudah imkan mengeluarkannya dengan hadirnya harta dan mustahiq zakatnya; atau karena ia merusak hartanya sendiri (membiarkannya dari yang merusak, misalnya membiarkan dicuri atau dimakan hama) sesudah satu haul walaupun sebelum imkan mengeluarkannya.
Sumber: Kitab Fat-hul Mu’in karangan Zainuddin bin Abdul Aziz al Malibari al Fannani