Mengetahui Rahasia Orang Lain Bisa Menimbulkan Fitnah Yang Besar

Apabila ada orang yang bisa mengetahui rahasia orang lain, sehingga dirinya bisa mengetahui keaiban orang lain serta bisa menceritakan dosa-dosanya. Padahal dirinya belum mampu musyahadah kepada Allah, serta belum mempunyai akhlak seperti akhlak Allah. Misalnya sayang terhadap sesama manusia dan bisa menutupi aib orang lain.

Dengan bisa melihat rahasia orang lain, itu bisa menimbulkan fitnah yang besar. Karena kalau seseorang bisa melihat rahasia orang lain, sedangkan dia belum bisa ma’rifat kepada Allah, maka terkadang nantinya dia disibukkan dengan melihat rahasia orang lain, yang akhirnya menjadikan pendiriannya kacau dan menjauhkan dirinya dari musyahadah kepada Allah, serta akan datang fitnah yang besar. Dirinya merasa hebat, maka dia dekat dengan sifat ‘ujub, takabur yang merupakan pokoknya kema’siyatan. Apalagi bila di agung-agung (dipuji-puji) orang lain karena dia bisa melihat rahasia orang lain, lalu orang-orang memberinya uang yang besar, akhirnya dirinya tenggelam dalam lautan keduniaan.

Berbeda halnya dengan orang yang sudah bisa ma’rifat kepada Allah, dan berakhlaq seperti akhlaqnya Allah, serta melekat terhadap sifat-sifatnya Allah. Dimana-mana dia melihat kema’siyatan ‘abdi (rahasianya orang lain/dosa/keaiban), maka dia akan merasa kasihan dan akan menutupi rahasianya tersebut, serta tidak akan ada bahayanya. Menurut Rasulullah saw, al khalqu ‘iyaalullaahi wa aqrabukum ilallaahi arhamukum bi’iyaalihi, makhluk Allah itu adalah keluarga Allah, urusan Allah, maka paling dekatnya kamu kepada Allah, itu adalah kesayangannya antara kamu dengan keluarga Allah. Yang sayang kepada makhluq Allah akan disayang oleh Allah.

Di dalam hadist qudsi juga dijelaskan bahwa orang yang sayang terhadap makhluk Allah akan disayang oleh Allah. Kita harus sayang kepada yang tinggal di bumi, maka akan disayang oleh yang ada di langit.

Kisah Nabi Ibrahim

Dalam sebuah riwayat dijelaskan bahwa Nabi Ibrahim melihat kesalahan seseorang, lalu beliau berdoa kepada Allah agar kaum yang berma’siyat itu dirusak oleh Allah, kemudian doanya beliau di ijabah oleh Allah swt, sehingga akhirnya kaum tersebut rusak. Dengan berdoanya Nabi Ibrahim agar kaum itu dirusak, padahal Allah swt sayang, sebab walaupun saat ini ma’siyat terkadang mereka melahirkan keturunan yang bertakwa kepada Allah, atau bahkan nantinya kaum yang berma’siyat itu bertaubat, dan akhirnya dicintai oleh Allah.

Nabi Ibrahim mendapat teguran dari Allah karena berdoa seperti itu, dan disuruh membayar kifarat dengan menyembelih hewan kurban, lalu Nabi Ibrahim menyembelih unta. Pada malam kedua Nabi Ibrahim kembali disuruh untuk menyembelih kurban, lalu beliau menyembelih sapi. Pada malam ketiga dia kembali disuruh menyembelih kurban, lalu beliau menyembelih domba. Pada malam keempat beliau disuruh kembali, lalu menyembelih hewan yang ada. Pada malam kelima beliau kembali disuruh menyembelih kurban, sedangkan tidak ada lagi hewan yang bisa disembelih. akhirnya beliau disuruh untuk menyembelih puteranya.

Alasan kenapa beliau disuruh menyembelih puteranya, karena Nabi Ibrahim pernah meminta (berdoa) kepada Allah untuk merusak suatu kaum, padahal Allah swt masih sayang kepada kaum tersebut. Nah sekarang Nabi Ibrahim disuruh menyembelih puteranya, sedangkan beliau masih sangat menyayanginya. Ketika Nabi Ibrahim sudah siap menyembelih puteranya (Ismail), beliau berkata: “Ya Allah, ini adalah anakku yang menjadi kekasihku, dan menjadi buah hatiku, yang paling dicintai”.

Setelah berkata demikian, beliau mendengar suara hatif (ada suara tetapi tidak terlihat yang bicaranya): “Apakah kamu tidak ingat ketika suatu malam kamu meminta kepada-Ku untuk merusak suatu kaum-Ku, apakah kamu tidak tahu bahwa Aku adalah yang menyayangi ‘abdi-Ku. Dengan adanya keinginanmu untuk merusak kaum yang dicintai oleh-Ku, maka kamu juga akan disuruh untuk menyembelih anak yang dicintai olehmu.

Nabi Ibrahim diharuskan kifarat dengan lima kali, sebab Nabi Ibrahim mengajukan permintaan untuk merusak yang ma’siyat itu dengan beberapa kali .

 

Diambil dari kitab Al Hikam karangan Assyeikh al Imam Ibni ‘Athoillah Assukandari (hikmah keseratus lima puluh lima)

Related Posts