Hasil dari penjualan barang wakaf dibelanjakan buat keperluan masjid secara mutlak atau digunakan untuk biaya merenovasinya, yakni pada bangunannya, sekalipun untuk membangun kembali menaranya. Juga dapat dipakai untuk keperuan plesteran yang kuat, untuk tangga, dan untuk biaya upah pengurus masjid.
Tetapi tidak boleh bila digunakan untuk upah juru azan, imam, membeli tikar, adn minyak penerangan. Akan tetapi, jka barang wakaf tersebut memang ditujukan untuk kepentingan itu, baru boleh dibelanjakan untuk keperluan itu; kecuali untuk keperluan pengecatan dan membuat ukiran hiasan (tetap tidak boleh).
Hasil dari penjualan barang wakaf tidak boleh digunakan untuk juru azan dan upah imam, hanyalah dalam masalah wakaf yang bersifat mutlak.
Pendapat ini merupakan kesimpulan dari pengertian apa yang telah dinukil oleh Imam Nawawi di dalam kitab Raudhah-nya dari Al-Baghawi. Akan tetapi, sesudah itu Imam Nawawi menukil pula dari Fatawi-nya Imam Ghazali, bahwa hasil wakaf boleh dibelanjakan buat upah juru azan dan imam. Pendapat inilah yang lebih kuat alasannya, perihalnya sama dengan masalah wakaf untuk kepentingan masjid.
Seandainya seseorang mewakafkan sesuatu buat keperluan minyak penerangan masjid, maka masjid itu harus diterangi dengan minyak wakaf tersebut setiap malam jika pintunya tidak terkunci serta kosong.
Ibnu Abdus Salam berfatwa bahwa boleh menyalakan sebagian kecil dari penerangan masjid di malam hari karena menghormati masjid, sekalipun tidak ada orang di dalamnya. Pendapat ini dijadikan pegangan oleh sejumlah ulama.
Imam Nawawi di dalam kitab Raudhah-nya menetapkan bahwa haram menerangi masjid yang kosong. Tetapi di dalam kitab Al-Majmu’ dia sendiri mengatakan bahwa haram mengambil sesuatu dari minyak penerangan masjid dan juga lilinnya, sama haramnya dengan mengambil batu kerikil dan pasirnya.