Makruh membangun tembok dalam liang kubur atau di atasnya tanpa keperluan atau darurat, misalnya khawatir ada yang membongkar, atau khawatir digali binatang buas, atau ambrol terbawa arus banjir. Karena yang demikian itu berdasarkan larangan hadis sahih.
Hal ini makruh dilakukan bilamana bangunan tersebut berada di tanah milik sendiri. Namun, kalau bangunan itu sendiri tidak dalam keadaan darurat seperti yang telah diungkapkan tadi (khawatir ada yang membongkar, digali binatang buas, atau ambrol terbawa arus banjir); atau membangun sejenis kubah (misalnya pagar dan sebagainya) di atas kuburan tanah musabbalah, yaitu tanah yang biasa disediakan untuk mengubur mayat oleh penduduk setempat, baik diketahui asal mula penyediaannya maupun tidak; atau memang tanah wakaf, maka yang demikian itu hukumnya haram dan wajib dirobohkan, sebab bangunan tersebut akan tetap berdiri, sekalipun mayatnya sudah punah. Dengan demikian, berarti mempersempit kepentingan kaum muslim lainnya yang dalam hal ini menurut syara’ tidak perlu.
Jika tembok kuburan itu dirobohkan, maka reruntuhan batunya harus dikembalikan kepada keluarga mayat, jika diketahui orangnya; atau di antara reruntuhan batu dan keluarganya dibiarkan begitu saja. Kalau keluarga mayatnya tidak diketahui, maka batu itu dianggap barang yang hilang (tak ada pemiliknya), dan mengenai hukumnya sudah jelas.
Syaikhuna Zamzami berkata, “Bilamana mayat itu sudah punah dan ahli warisnya membiarkan reruntuhan batu (bekas tembok tersbut), maka boleh mengubur mayat yang lain dengan membiarkan reruntuhan batu itu bila tidak bertentangan dengan keadaan adata yang berlaku, seperti halnya dalam masalah sanabil (memungut gabah setelah dipanen).
Makruh menginjak kuburan orang muslim, sekalipun kuburan orang yang mati dalam keadaan hina dan tercela (misalnya meninggalkan salat atau pezina) sebelum mayatnya punah, kecuali karena darurat, misalnya tidak dapat mengubur mayat ahlinya tanpa menginjak (kuburan tersebut). keadaan darurat ini berlaku pula bagi yang bermaksud ziarah, sekalipun bukan ziarah ke kuburan kerabatnya (maka hukumnya tidak makruh).
Adapun penetapan syarah Muslim sama dengan yang lainnya, yaitu haram hukumnya duduk di atas kuburan dan menginjaknya, berdasarkan hadis yang menolak keterangan di atas (ikhtilaf). Sesungguhnya yang dimaksud dengan “duduk di atas kuburan” ialah duduk untuk buang air besar atau kecil.
Sumber: Kitab Fat-hul Mu’in karangan Zainuddin bin Abdul Aziz al Malibari al Fannani