Makruh bermakmum kepada imam yang fasiq dan ahli bid’ah, misalnya Rafidhah (yaitu aliran islam bermazhab Syiah), walaupun tidak ada orang lain selain mereka, selama tidak takut fitnah (bila tidak bermakmum kepadanya, misalnya imam itu berpangkat tinggi atau penguasa).
Menurut pendapat yang lain, tidak sah bermakmum kepada mereka itu. Sebagaimana sabda Nabi saw, “Sesungguhnya kegembiraanmu ialah diterima salatmu, maka hendaklah yang mengimamimu adalah orang yang terbaik di antaramu, sebab mereka adalah utusanmu di antara kamu dengan Rabb-mu.”
Makruh pula bermakmum kepada orang yang wswas dan orang yang kulup (belum dikhitan). Tidak makruh bermakmum kepada anak hasil perzinahan, akan tetapi hal itu menyalahi keutamaan.
Imam Subki dan pengikutnya memilih tidak makruh (bermakmum kepada mereka tadi) apabila mendapat kesulitan membentuk jamaah kecuali di belakang (bermakmum) imam yang dimakluminya, bahkan berjamaah lebih afdhal daripada salat munfarid.
Syaikhuna menetapkan bahwa dalam keadaan demikian itu hukumnya tetap makruh (bermakmum kepada imam yang makruh dimakmuminya), bahkan salat munfarid lebih afdhal daripada berjamaah. Sebagian lagi (mazhab Syafii) mengatakan bahwa yang lebih masyhur menurut merek ialah seperti pendapat Imam Subki.
Orang yang sehat sah bermakmum kepada yang beser, baik karena buang air kecil, madzi (yaitu air yang agak kental yang keluar dari alat kelamin sesudah bekerja berat), ataupun yang selalu buang angin. Orang yang berdiri sah bermakmum kepada yang duduk. Sebagaimana yang diceritakan oleh Siti Aisyah, “Pada waktu sakit menjelang wafatnya Nabi saw salat sambil duduk, sedangkan Abu Bakar dan orang-orang bermakmum sambil berdiri.” (Riwayat Bukhari)
Yang wudu sah bermakmum kepada yang tayamum. jadi, makmum tidak usah mengulang salatnya.