Dalam berwudhu, disyaratkan untuk memakai air mutlak. Air mutlak adalah air yang disebut tanpa qayid (ikatan) apa-apa. (Air yang berqayid, misalnya air kelapa, air tebu, dan sebagainya. Air-air tersebut tidak dapat disebut air saja tanpa qayid. Intinya, air itu tidak bisa dipakai untuk bersuci).
Macam-macam air mutlak adalah:
- Air yang mengendap, yang berasal dari uap air suci yang mendidih.
- Air yang rusak campurannya (air yang tidak berubah karena bercampur suatu barang, umpamanya air dua kulah tercampur sirup setengah botol atau ja’faraon, nama airnya tetap, namun nama sirupnya hilang).
- Air yang diqayidi (terikat) dengan keadaan tempat, seperti air laut, (air sumur, air sungai, air kendi, dan sebagainya. air itu disebut air saja tanpa menyebut qayidnya pun sudah cukup. Keempat macam air itu suci dan menyucikan). Berbeda dengan air yang tidak cukup disebut tanpa qayid, seperti air tawar, (air tebu, air kelapa, dan sebagainya. Air tersebut suci tetapi tidak menyucikan kalau dipakai untuk bersuci, misalnya wudu atau mencuci najis). Air mutlak bukanlah air yang telah dipergunakan untuk bersuci fardu, misalnya menghilangkan hadas kecil atau besar, walaupun bersuci dengan menggunakan mazhab Hanafi (yang tidak mewajibkan niat) atau anak kecil yang belum tamyiz untuk thawaf. (air itu disebut musta’mal).
(Bukan air) bekas menghilangkan najis, walaupun najis yang dimaafkan serta jumlah air muata’mal itu sedikit, yaitu kurang dari 2 kulah. Kalau air musta’mal dikumpulkan hingga menjadi 2 kulah, maka air tersebut suci dan menyucikan, seperti halnya air mutanajis dikumpulkan hingga mencapai 2 kulah dan tidak berubah sekalipun jumlahnya menjadi berkurang karena terpisah-pisah (sesudah dikumpulkan).
Dengan demikian, jelaslah bahwa sebutan musta’mal itu hanya terdapat pada air yang sedikit, yaitu sesudah terpisah dari tempat pemakaiannya (anggota wudu, pakaian yang dicuci, dll), walaupun hanya secara hukum. Misalnya air yang melewati belikat atau lutut orang yang berwudu (dari usapan kepala atau yang jatuh dari mukanya), walaupun kembali ke tempatnya semula (tetap musta’mal atau bekas terpakai), atau air yang pindah dari satu lengan ke lengan lainnya.
Memang demikian, tetapi tidak apa-apa bagi orang yang berhadas bila berpisahnya air itu dari telapak tangan ke ruas tangan, begitu juga orang yang junub bila berpisahnya air itu dari kepala ke (anggota tubuh lainnya), misalnya ke dada.
Sumber: Kitab Fat-hul Mu’in karangan Zainuddin bin Abdul Aziz al Malibari al Fannani