Segolongan ulama, antara lain Al Adzru’i, Al Ghuzzi, dan lain-lainnya, memilih pendapat sebagian kalangan mazhab Maliki yang mengatakan, “Apabila predikat adil sudah tidak ada di kalangan mazhab orang-orang, yang ada hanyalah predikat fasik belaka, maka hkim boleh memutuskan peradilan dengan memakai saksi yang paling ringan kefasikannya karena keadaaan darurat.”
Predikat adil teralisasi dengan menjauhi smeua dosa besar dengan berbagai jenis dan aneka ragam, seperti membunuh, berzina, menuduh orang lain berzina, memakan riba dan harta anak yatim, melakukan sumpah palsu, kesaksian palsu, mengurangi timbangan dan takaran, memutuskan pertalian silaturahmi, lari dari barisan perang tanpa alasan yang dibenarkan, menyakiti kedua orang tua, menggasab barang senilai seperempat dinar, melewatkan salat fardu dari waktunya, menangguhkan zakat secara aniaya, dan namimah (mengadu domba), serta lain-lain yang termasuk ke dalam pengertian tindak jarimah yang menunjukkan ketidakpedulian terhadap agama dan ketipisan imannya.
Dan (persyaratan lain yang harus dipenuhi untuk predikat adil ialah) menjauhi kebiasaan melakukan dosa kecil atau berbagai macam dosa kecil, sehingga ketaatan tidak dapat mengalahkan dosa-dosa kecilnya.
Manakala seseorang mengerjakan suatu dosa besar, maka gugurlah predikat adilnya secara mutlak; atau melakukan suatu dosa kecil atau beberapa dosa kecil, baik dosa-dosa itu sering dilakukan ataupun tidak (jika maksiatnya dapat mengalahkan ketaatannya). Lain halnya menurut pendapat orang yang membedakannya (yakni antara sering kali melakukan dan yang tidak).
Jika ketaatan seseorang dapat mengalahkan kemaksiatan dosa-dosa kecilnya, dia termasuk orang yang adil; dan manakala kedua sisi ketaatan dan kemaksiatan sama, atau dosa-dosa kecil dapat mengalahkan ketaatan, mala dia adalah orang yang fasik.
Dosa kecil contohnya antara lain ialah memandang dan memegang wanita lain (yang bukan mahramnya), menggauli istri yang dalam iddah talak raj’i, mendiamkan seorang muslim lebih dari tiga hari, menjual khamr, memakai kain sutera bagi laki-laki, melakukan dusta yang tidak ada ketentuan hadnya, melakukan kutukan sekalipun terhadap hewan atau orang kafir, menghadapkan kemaluan di saat buang air ke Ka’bah, membuka aurat di tempat sepi tanpa ada maksud, bermain dadu karena ada riwayat sahih yang melarangnya, melakukan ghibah (mengumpat orang lain) dan diam menyetujuinya.
Tetapi sebagian besar ulama ada yang menukil perbuatan mengumpat merupakan dosa besar menurut kesepakatan ulama, karena ada ancaman keras bagi pelakunya. Kesepakatan tersebut diinterpretasikan sebagai perbuatan mengumpat ahli ilmu dan orang-orang yang hafal Al Qur’an, mengingat perbuatan mengumpat ini merupakan petaka yang melanda kebanyakan orang (hingga perlu pengkhususan pengertian bagi perbuatan mengumpat yang bersanksikan sebagai dosa besar).
Sumber: Kitab Fat-hul Mu’in karangan Zainuddin bin Abdul Aziz al Malibari al Fannani