Istri yang ditalak raj’i boleh keluar rumah

Istri yang ditalak raj’i tidak boleh keluar rumah kecuali dengan seizin suaminya, atau boleh tanpa izin jika keadaan darurat. Ditetapkan demikian karena suami masih bertanggung jawab atas semua nafkah dan biayanya; statusnya seperti istri. Disamakan dengan wanita yang ditalak raj’i wanita yang ditalak ba’in tetapi sedang mengandung.

Wanita yang boleh keluar rumah dalam masa iddahnya

Wanita yang sedang dalam iddah diperbolehkan pindah rumah karena alasan takut akan keselamatan diri atau keselamatan anaknya atau keselamatan harta benda sekalipun bukan miliknya, seumpamanya barang titipan, walaupun nilainya kecil. Diperbolehkan pula baginya pindah rumah karena alasan takut keruntuhan rumah atau takut kebakaran atau kemalingan, atau merasa sangat terganggu oleh tetangganya.

Suami wajib menyediakan tempat tinggal bagi istri yang diceraikannya

Diwajibkan bagi seorang suami memberikan tempat tinggal untuk istri yang diceraikannya sekalipun harus dengan menyewa, selagi diceraikan bukan karena nusyuz (membangkang terhadap suami).

Suami istri yang sudah bercerai tidak boleh tinggal serumah

Si suami tidak boleh tinggal serumah dengan wanita yang diceraikannya. Tidak boleh pula memasuki suatu tempat yang mana bekas istrinya ada di tempat tersebut, sedangkan dia tidak ditemani oleh mahramnya.

Hal tersebut haram bagi si suami sekalipun si suami adalah seorang tuna netra dan sekalipun talak yang ia jatuhkan adalah raj’i, karena hal tersebut akan mengakibatkan adanya khalwat yang diharamkan.

Untuk itu, sudah merupakan keharusan bagi bekas istri mencegah suaminya melakukan hal itu, jika memang dia berkesempatan untuk mencegahnya.

Sebagaimana wanita merdeka melakukan iddah dengan ketentuan-ketentuan yang telah disebutkan, wanita yang bukan merdeka pun melakukannya pula, tetapi separo iddah yang dilakukan oleh wanita yang merdeka, sebab dalam banyak hal hukum budak wanita separo dari wanita yang merdeka.

Akan tetapi, budak wanita diharuskan menyempurnakan iddah dalam masa suci yang kedua, karena pengertian separo dari wanita merdeka masih belum jelas kecuali dengan melengkapinya. Untuk itu, seorang budak wanita yang telah lepas dari masa iddah tetap harus menunggu sampai masa haid berikutnya.

 

Sumber: Kitab Fat-hul Mu’in karangan Zainuddin bin Abdul Aziz al Malibari al Fannani

Related Posts