Istri berhak memperoleh tempat tinggal

Istri berhak memperoleh tempat tinggal (rumah) dari suaminya sebagai tempat yang aman untuk tinggal seandainya si suami pergi meninggalkannya karena suatu keperluan. Di dalam rumah itu si istri merasa aman akan dirinya dan harta bendanya sekalipun tidak banyak, karena rumah diperlukan dan bahkan merupakan keperluan yang harus dipenuhi. Rumah tersebut keadaannya sesuai untuk si istri menurut tradisi yang berlaku, sekalipun si istri dari kalangan suatu kaum yang tidak biasa bertempat tinggal menetap (suku nomaden) dan sekalipun rumah tersebut merupakan rumah pinjaman atau rumah sewaan.

Suami tinggal di rumah istri

Apabila si suami tinggal bersama istri di rumah istri dengan seizinnya, atau karena si istri tidak mau diajak berpindah bersama suaminya, atau si istri lebih suka tinggal di rumah orang tuanya, umpamanya rumah ayahnya, dengan seizin pihak suami, maka pihak suami tidak diharuskan menyewanya.

Dikatakan demikian karena suatu izin tidak disertai dengan penyebutan minta uang imbalan, kedudukannya sama dengan menyewa dan boleh memanfaatkannya.

Suami wajib memberi seorang pelayan

Suami, sekalipun keadaannya tidak mampu (miskin), lain halnya menurut pendapat sejumlah ulama, atau seorang budak, ia diwajibkan memberikan seorang pelayan kepada istri yang merdeka, tidak usah lebih dari seorang pelayan, mengingat memberikan pelayan kepada si istri termasuk ke dalam pengertian menggauli istri dengan cara yang makruf.

Lain halnya jika istri lelaki yang bersangkutan adalah budak wanita, walaupun rupanya cantik (tidak wajib diberi pembantu), sekalipun wanita secantik dia biasanya diberi pelayan di rumah tuannya. Keadaan di rumah suaminya yang penuh dengan kemewahan bukan menjadi tolok ukur (untuk mewajibkan si suami memberi pelayan kepadanya).

Seorang suami diwajibkan memberikan seorang pelayan kepada istrinya hanya jika istrinya itu seorang wanita merdeka, sekalipun pelayan tersebut wanita merdeka lain yang melayaninya, atau pelayan yang digaji, atau mahram si istri, atau budak miliknya sekalipun budak laki-laki, atau anak lelaki yang belum mencapai usia puber.

 

Sumber: Kitab Fat-hul Mu’in karangan Zainuddin bin Abdul Aziz al Malibari al Fannani

Related Posts