Iddah wanita yang sedang tidak hamil dianggap terputus karena digauli oleh suami yang menceraikannya dalam talak raj’i, bukan talak ba’in, sekalipun karena khulu’ (permintaan cerai dari pihak wanita dengan tebusan).
Pengertian “digauli si suami”, umpamanya pihak suami melakukan khalwat dengannya dan mempunyai kesempatan untuk menguasainya, sekalipun dalam waktu relatif singkat; baik terjadi persetubuhan ataupun tidak, sama saja. Dengan kata lain, iddahnya tetap masih belum habis.
Akan tetapi, jika pergaulan di antara keduanya sudah usai, umpamanya pihak suami berniat tidak akan kembali menggaulinya lagi, maka pihak istri harus melanjutkan iddah yang tersisa. Demikian itu karena adanya ke syubhatan (keraguan) hidup bersama (sebagai suami istri).
Perihalnya sama saja dengan kasus seandainya si wanita yang bersangkutan dikawini oleh lelaki lain dalam masa iddah, maka selama si suami baru bergaul dengannya tidak dimasukkan ke dalam perhitungan iddah, melainkan iddah terputus sementara sejak keduanya melakukan khalwat (berduaan tanpa ada orang lain). hal ini tidak menghapuskan iddah yang telah dialaminya.
Akan tetapi, suami pertama tidak boleh lagi merujuknya sesudah iddah quru’ atau bulanan wanita yang berasngkutan telah habis. Demikian pendapat yang dapat dipegang.
Bahkan sekalipun iddah wanita yang bersangkutan masih belum berakhir, ia terkena talak secara otomatis dari pihak suami pertama begitu masa iddah habis.
Pendapat yang dianggap kuat oleh Al Bulqini menyatakan bahwa pihak istri yang bersangkutan tidak berhak lagi menerima nafkah dari suami pertama tadi sesudah iddah (dari talak otomatis) habis.
Pendapat ini diperkuat pula oleh selain Al Bulqini, dan dikatakan bahwa tidak ada hak saling mewaris di antara keduanya, dan pihak lelaki tidak terkena hukuman had karena menyetubuhinya.
Sumber: Kitab Fat-hul Mu’in karangan Zainuddin bin Abdul Aziz al Malibari al Fannani