Masa iddah wajib dilakukan oleh seorang wanita yang tidak pernah haid sama sekali selama tiga bulan hilaliyah, selagi si suami tidak menalaknya pada pertengahan bulan. Jika ternyata si suami menceraikannya di pertengahan bulan, maka hari yang tersisa dari bulan itu harus disempurnakan hingga menjadi genap tiga puluh hari.
Atau wanita yang bersangkutan pada awal mulanya biasa haid, kemudian haid nya terputus dan tidak haid lagi untuk selamanya, karena usianya telah mencapai usia ayisah; seusia itu kaum wanita biasanya tidak haid lagi, yakni usia enam puluh dua tahun, sedangkan menurut pendapat yang lain lima puluh tahun.
Kesimpulan: Wanita yang keadaannya demikian perhitungan masa iddahnya berdasarkan bulanan, yakni tiga bulan qamariyah (3 x 30 hari = 90 hari).
Akan tetapi, seandainya wanita yang sama sekali tidak pernah haid tiba-tiba mengalami haid dalam masa iddah bulanannya, maka ia harus beriddah dengan hitungan quru’.
Jika dia mengalami haid sesudah iddahnya habis, maka dia tidak usah mengulangi iddah dengan hitungan quru’. Lain halnya jika dia termasuk wanita yang ayisah (wanita yang tak berhaid lagi)
Barang siapa kebiasaan haidnya terhenti tanpa diketahui penyebabnya, padahal sebelumnya dia biasa haid dengan teratur, sedangkan dia telah diceraikan (oleh suaminya), maka dia tidak boleh kawin sebelum jelas keadaan dirinya, apakah berhaid atau menjadi wanita ayisah. Setelah jelas keadaannya, baru ia boleh melakukan iddah, baik dengan hitungan quru’ ataupun hitungan bulan.
Menurut qaul qadim (himpunan ijtihad Imm Syafii ketika di Baghdad) dan juga menurut Mazhab Malik dan Mazhab Ahmad, disebutkan bahwa wanita yang keadaannya seperti di atas diharuskan menunggu selama 9 bulan. Setelah itu baru melakukan iddah selama tiga bulan agar diketahui bahwa rahimny benar-benar kosong dari pembuahan, meningat masa 9 bulan merupakan kebiasaan masa mengandung (di kalangan banyak kaum wanita).
Keterangan ini dikemukakan oleh Imam Syafii dengan berdalil sebuah atsar yang menyatakan bahwa Khalifah Umar r.a. pernah memutuskan hukum demikian di kalangan Muhajirin dan kaum Anshar, dan ternyata tiada seorang pun (dari kalangan sahabat lainnya) yang memprotes keputusan hakim itu.
Pendapat di atas difatwakan juga oleh ulama besar ‘Izzud Din ibnu ‘Abdus Salam, Al Barizi, Ar Raimi, dan Isama’il Al Hadhrami serta dipilih oleh Al Bulqini dan Ibnu Ziad.
Bagi seorang wanita yang terhenti kebiasaan haidnya karena sesuatu sebab, umpamanya sedang menyusui atau sedang sakit, maka ia tidak boleh kawin dahulu, menurut kesepakatan semua ulama, sebelum jelas keadaannya apakah berhaid lagi atau ayisah (terputus haid), sekalipun masa tunggunya itu cukup lama.
Sumber: Kitab Fat-hul Mu’in karangan Zainuddin bin Abdul Aziz al Malibari al Fannani