Hukuman ta’zir

Imam atau wakilnya berhak menjatuhkan hukuman ta’zir terhadap perbuatan maksiat yang kebanyakan tidak ada ketentuan hukuman had dan kifaratnya, baik yang menyangkut hak Allah ataupun hak manusia, umpamanya menggauli wanita lain bukan pada alat kelaminnya, mencaci orang lain tanpa menuduhnya berbuat zina, dan memukul orang lain tanpa alasan yang dibenarkan.

Tetapi adakalanya hukuman ta’zir dapat dilakukan terhadap perbuatan yang tidak maksiat, umpamanya terhadap orang yang mencari kasab (mata pencaharian)nya dengan memakai alat lahwu (musik) yang tidak maksiat (seperti gendang dan terompet).

Akan tetapi, adakalanya hukuman ta’zir tidak diberlakukan terhadap perbuatan maksiat yang tidak ada hukuman had dan kifaratnya, seperti perbuatan dosa kecil yang dilakukan oleh seseorang yang dikenal tidak jahat (orang baik-baik), karena ada sebuah hadis yang dinilai sahih oleh Ibnu Hibban mengatakan:

Janganlah kalian hiraukan kesalahan-kesalahan kecil yang dilakukan oleh orang baik-baik, kecuali yang menyangkut hukuman had. Menurut riwayat yang lain disebut kekeliruan mereka.

Imam Syafii r.a. menafsirkan pengertian dzawul hai’aat seperti yang telah disebut di atas (yaitu orang baik-baik), sedangkan menurut pendapat lain mereka itu adalah orang yang melakukan dosa kecil. menurut pendapat yang lainnya lagi mereka adalah orang-orang yang menyesali perbuatan dosanya dan bertobat.

Contoh lain bagi yang tidak terkena hukuman ta’zir ialah membunuh seseorang yang dilihatnya sedang berbuat zina dengan istrinya. Demikian pendapat yang diriwayatkan oleh Ibnu Rif’ah, dengan alasan karena gelap mata dan emosi. Bahkan secara batin membunuh orang tersebut diperbolehkan (yakni orang yang berzina dengan istrinya0.

Adakalanya hukuman ta’zir dibarengi dengan kifarat, seperti pada kasus seorang lelaki yang menyetubuhi istrinya di siang hari bulan ramadhan.

Cara melakukan hukuman ta’zir

Hukuman ta’zir dapat dilakukan dengan pukulan yang tidak melukai, tamparan dengan telapak tangan, dan penahanan, sekalipun yang bersangkutan tidak dapat mengerjakan salat jumat (karena ditahan); boleh pula mencaci maki dengan ucapan, pengasingan, aytau mengusir dari majelis, dan lain sebagainya yang dipandang oleh pelaksana hukuman ta’zir sebagai hukuman yang pantas, baik dipandang dari jenis ataupun kadarnya.

Akan tetapi, hukuman ta’zir tidak boleh dengan mencukur janggut. Pengertian lahiriah “haram melakukan hukum ta’zir mencukur janggut si tersalah” hanya dipandang dari segi hukum haram mencukur janggut, seperti yang dikatakan oleh mayoritas ulama muta-akhkhirin. Tetapi menurut pendapat yang memakruhkannya, seperti yang dikatakan oleh imam rafii dan imam Nawawi serta yang lainnya, tidak ada alasan melarang menjatuhkan sanksi ta’zir dengan mencukur janggut si tersalah bila hukuman tersebut dipandang perlu oleh imam.

Hukuman ta’zir terhadap orang yang merdeka diwajibkan tidak melebihi empat puluh kali pukulan (tamparan) dan dua puluh kali pukulan terhadap yang lainnya (yakni budak).

Seorang ayah atau tingkatan yang lebih tinggi darinya (kakek) boleh menjatuhkan hukuman ta’zir, sedangkan Imam Rafi’i menyamakan ibu atau yang lebih tinggi darinya (nenek) dengan ayah (dalam hal boleh menjatuhkan hukuman ta’zir).

Diperbolehkan pula menjatuhkan hukuman ta’zir kepada orang yang mendapat izin dari orang tua yang bersangkutan, seperti seorang guru terhadap anak kecil atau anak yang dungu, karen keduanya melakukan hal-hal yang tidak pantas. Tujuan hukuman ta’zir ini untuk membuatnya jera melakukan akhlak yang buruk.

Seorang guru boleh menjatuhkan hukuman ta’zir terhadap anak didiknya.

Seorang suami boleh men-ta’zir istrinya dalam kasus yang menyangkut haknya, misalnya si istri nusyuz terhadapnya, bukan dalam kasus yang menyangkut hak Allah swt.

Selaras dengan pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa si suami tidak boleh memukul istri karena si istri meninggalkan salat. Salah seorang ulama ada yang memfatwakan wajib memukul, tetapi pendapat yang beralasan paling kuat menyatakan boleh.

Seorang tuan boleh menghukum ta’zir budaknya dalam kasus yang menyangkut hak si tuan dan hak Allah swt.

Sesungguhnya orang-orang tadi dikenakan hukuman ta’zir hanya dengan pukulan yang tidak melukai. Apabila tidak memberikan faedah apa pun kecuali dengan pukulan yang melukai, maka dia dibiarkan, mengingat pukulan yang melukai dapat membinasakannya, sedangkan hukuman lain tidak ada artinya bagi dia.

Hukuman ta’zir yang dilakukan kepada budak yang durhaka kepada tuannya

Abdur Rahman ibnu Ziad pernah ditanya mengenai masalah seorang budak yang durhaka terhadap tuannya dan membangkang terhadap perintahnya, tidak mau melayaninya dengan pelayanan yang layak bagi situan.

Boleh atau tidakkah si tuan memukulnya dengan pukulan yang tidak melukai. Apabila si tuan memukul dengan pukulan yang melukai, lalu si budak melaporkan hal tersebut kepada salah seorang hakim agama, boleh atau tidakkah hakim melarangnya melakukan pukulan yang melukai? Apabila si hakim melarang berbuat demikian, misalnya, tetapi si tuan bersikeras tidak menurutinya, apakah si hakim boleh menjual budak tersebut, lalu menyerahkan hasilnya kepada si tuan? Dengan harga berapakah si hakim menjualnya? Apakah dengan harga yang sama ketika si tuan membelinya, atau dengan harga yang ditaksir oleh orang-orang yang ahli dalam menentukan harga budak, atau disesuaikan dengan harga pasaran yang berlaku pada saat itu?

Apabila si budak membangkang, tidak mau melayani tuannya dengan pelayanan yang sudah sewajibnya menurut syara’, maka si tuan boleh memukulnya karena dia membangkang, yaitu dengan pukulan yang tidak melukai. Jika cara ini membuahkan faedah dan si tuan tidak boleh memukul dengan pukulan yang melukai, hakim berhak melarangnya berbuat demikian.

Apabila si tuan tidak mau mencegah dirinya melakukan pukulan yang melukai itu, berarti dia melakukan ahal yang diharamkan; sama saja haramnya seandainya dia membebankan kepada budaknya suatu pekerjaan yang tidak mampu dia kerjakan. Bahkan keharaman melakukan pukulan yang melukai lebih berat lagi, karena pukulan yang melukai adakalanya dapat mematikan si budak tersebut.

Al Qadhi Husain memberikan fatwanya, “Bila seseorang membebankan suatu pekerjaan yang tidak mampu dikerjakan oleh budaknya, maka budak itu boleh dijualkan dari tangannya dengan harga yang berlaku di pasaran, yaitu harga yang berlaku di masa dan tempat orang yang bersangkutan.”

 

Sumber: Kitab Fat-hul Mu’in karangan Zainuddin bin Abdul Aziz al Malibari al Fannani

Scroll to Top