Sebagian ulama memberikan fatwa bahwa mewakilkan secara mutlak dalam mengeluarkan zakat (termasuk atau berarti) mewajibkan pula dalam mewakili niatnya. Tidak wajib niat dari yang mewakilkan, bahkan cukup niatnya itu dari wakil.
Fatwa itu membutuhkan pemikiran, bahkan yang berlaku sesungguhnya wajib ada niat dari pemilik harta atau yang menyerahkan niat itu kepada wakilnya.
Syeikh Mutawalli dan lainnya berkata “Ditentukan (wajib) adanya niat dari wakil bila tiba pelaksanaan fardu itu dari hartanya (maksudnya harta yang dikeluarkan untuk zakat itu dari wakilnya), seperti kata yang mewakilkan kepada wakilnya “laksanakanlah zakatku ini dari hartamu”, supaya beralih pekerjaan wakil kepada muwakkilnya. Ucapan muwakkil kepada wakilnya yang demikian itu, mengandung arti mengizinkan kepada wakil dalam berniat.”
Syeikh Qaffal berkata, “Seandainya orang berkata kepada yang lainnya ‘pinjamilah oleh engkau kepadaku lima….. dan laksanakanlah lima…… itu sebagai zakatku,’ lalu orang itu mengerjakannya, maka hal itu sah hukumnya.” Yang demikian itu berdasarkan atas pendapat Syeikh Qaffal dengan memperbolehkan tunggalnya yang menerima dan yang menyerahkan.
Haram mengakhirkan mengeluarkan zakat sesudah cukup haulnya dan imkan mengeluarkannya (karena hartanya dan mustahiqnya sudah ada). Pemilik harus menanggung kerugian (seukuran harta zakat) kalau hartanya rusak, padahal sudah imkan mengeluarkannya dengan hadirnya harta dan mustahiq zakatnya; atau karena ia merusak hartanya sendiri (membiarkannya dari yang merusak, misalnya membiarkan dicuri atau dimakan hama) sesudah satu haul walaupun sebelum imkan mengeluarkannya.
Sumber: Kitab Fat-hul Mu’in karangan Zainuddin bin Abdul Aziz al Malibari al Fannani