Seorang istri diperbolehkan keluar dari rumah dalam keadaan seperti berikut:
Istri boleh keluar rumah bila rumah hampir runtuh
Antara lain ialah bila rumah tempat tinggalnya hampir saja runtuh.
Akan tetapi, apakah cukup hanya dengan pengakuan saja yang mengatakan, “Aku khawatir rumah akan runtuh” (maka aku keluar rumah), atau diharuskan mengemukakan tanda-tanda yang menunjukkan bahwa rumahnya akan runtuh menurut kebiasaan. Kedua hipotesis tersebut dapat saja terjadi, tetapi yang mendekati kebenarana adalah hipotesis kedua.
Istri boleh keluar bila merasa khawatir akan keselamatan dirinya
Antara lain ialah bila si istri merasa khawatir akan keselamatan diri atau hartanya dari gangguan lelaki fasik atau pencuri.
Istri boleh keluar rumah untuk menuntut hak
Antara lain ialah bila si istri keluar rumah menuju tempat kadi menuntut haknya dari si suami.
Istri boleh keluar rumah untuk menuntut ilmu atau meminta fatwa
Antara lain ialah keluarnya si istri untuk belajar ilmu-ilmu fardu ‘ain atau untuk meminta fatwa, mengingat suaminya percaya tidak mampu melakukannya sendiri atau mahram si istri tidak dapat melakukannya.
Istri boleh keluar rumah untuk mencari nafkah
Antara lain bila si istri keluar rumah mencari nafkah dengan cara berdagang atau meminta-minta atau bekerja, jika keadaan suaminya miskin.
Istri boleh keluar rumah untuk mengunjungi keluarganya
Antara lain ialah bila si istri keluar rumah, tetapi bukan karena nusyuz, di saat suami tidak ada di tempat tinggalnya tanpa seizin suami, yaitu untuk tujuan ziarah atau membesuk kaum kerabatnya, bukan lelaki atau perempuan lain. demikian pendapat yang cukup beralasan, mengingat keluar rumah untuk tujuan tersebut menurut tradisi bukan dikatakan sebagai sikap nusyuz.
Memang jelas bukan dinamakan nusyuz hal-hal yang telah disebutkan di atas, jika si suami tidak melarangnya keluar atau tidak mengirimkan utusan kepada si istri untuk melarangnya keluar rumah.
Sumber: Kitab Fat-hul Mu’in karangan Zainuddin bin Abdul Aziz al Malibari al Fannani