Hal-hal yang berkaitan dengan pekerjaan dan bernadzar

Pertanian dan perdagangan ialah pekerjaan yang paling utama atau afdhal

Pekerjaan yang paling afdhal adalah pertanian, industri atau pekerjaan tangan lalu berdagang. Banyak ulama menyatakan, bah wa berdagang itulah yang afdhal. Kan tetapipertanian lebih afdhal, sebab lebih banyak tawakalnya.

Sabda Nabi saw, “Tiada seorang muslim pun yang menanam sesuatu, kecuali keadaan setiap yang dimakan dari hasilnya merupakan sedekah, yang dicuri orang merupakan sedekah; juga tiada seorang pun yang mengurangi hasilnya, kecuali itu merupakan sedekah.” (Riwayat Muslim)

Tidak haram muamalah (berusaha) dengan orang yang kebanyakan hartanya adalah barang haram, dan tidak haram memakan hartanya itu (sah), sebagaimana yang dibenarkan di dalam kitab Majmu’. Imam Nawawi berbeda pendapat dengan Imam Ghazali yang mengharamkannya (Imam Ghazali sangat berhati-hati atau wara’).

Apabila barang haram sudah menyeluruh jagat, maka boleh menggunakan barang haram itu sekedar untuk memenuhi kebutuhan, tidak boleh melebihi kebutuhan. Jadi, hanya sekadar darurat, bukan untuk berfoya-foya. Hukum boleh ini adalah sekira dapat ditunggu mengetahui para pemilik harta yang haram itu. Jika tidka begitu, barang haram itu dimasukkan ke Baitulmal, maka orang dapat menerima bagiannya sekadar haknya (bukan sekehendaknya) sebagaimana menurut Ibnu Hajar.

 

Pengertian dan Hukum Nadzar

Allah swt berfirman dalam surat Al Baqarah ayat 270 , “Apa saja yang kalian nafkahkan atau nadzarkan, sesungguhnya Allah mengetahuinya.”

Hukum nadzar itu sunat, sesuai dengan petunjuk Al Quran, sunnah Nabi, ijma’, dan qiyas. Menurut suatu kaul, ada yang mengatakan makruh.

Kebanyakan ulama menyelaraskan larangan Nabi saw pada nadzar lajaj (untuk memperpanjang perdebatan), karena sesungguhnya nadzar lajaj itu menangguhkan perbuatan dengan mengerjakan sesuatu atau meninggalkannya, misalnya “Jika saya masuk rumah atau kalau saya tidak keluar rumah, maka saya wajib berpuasa karena Allah atau sedekah dengan sesuatu.” Maka apabila orang tersebut memasuki rumah atau tidak keluar, ia boleh memilih antara mengerjakan yang ia wajibkan atau membayar kifarat sumpah.

Sebagaimana sabda Nabi Muhammad saw, “Kifarat nadzar itu sama dengan kifarat sumpah (yaitu puasa 3 hari atau sedekah dengan 6 mud)” (Riwayat Muslim)

Tidak wajib mengerjakan sesuatu karena nadzarnya itu, walaupun ibadah haji. Adapun cabang nadzar ialah sesuatu perkara yang termasuk di bawah perkara yang bersifat umum dan menyeluruh.

Nadzar itu ialah mewajibkan seorang muslim dewasa yang mengerti akan perbuatan ibadah yang tidak ditentukan (tidak fardu ‘ain bagi dirinya), pekerjaan sunat atau fardu kifayah, umpamanya menetapkan salat sunat witir, menengok orang sakit, berziarah kubur, dan kawin bagi laki-laki sekira disunatkan baginya, (berbeda dengan pendapat banyak ulama, yang berpendapat tidak san nadzar kawin, sebab asal hukumnya mubah, kecuali kalau jatuh nadab). Begitu juga puasa pada hari-hari putih (tanggal 13, 14, 15) dan hari senin.

Hukum nadzar untuk salat dan berpuasa pada hari tasyriq

Kalau hari-hari tersebut jatuh pada hari Tasyriq, tetapi sedang haid, nifas atau sakit, maka tidak wajib qadha, misalnya salat jenazah atau mengurus mayat.

Apabila bernadzar puasa pada hari-hari tertentu, tidak boleh puasa hari sebelumnya. Berdosa bila ia mengerjakannya, berdosa pula apabila mendahulukan salat sebelum waktu yang ditentukan dan tidak boleh pula mengakhirkan hari tertentu itu, seperti halnya mengakhirkan salatnya tanpa udzur. Bila ia mengerjakan (mengakhirkan puasanya itu), sah dan termasuk mengqadhanya. Kalau nadzar puasa hari kamis yang tidak ditentukan, maka mencukupi apabila melaksanakannya pada hari kamis kapan saja.

Bila bernadzar melakukan salat, maka wajib salat dua rakaat dengan berdiri bagi yang mampu; atau nadzar puasa, maka wajib puasa sehari; atau nadzar beberapa hari, maka wajib puasa 3 hari; atau nadzar akan bersedekah, maka wajib bersedekah dengan harta yang berharga, walaupun sedikit.

Wajib memberikan harta itu kepada orang merdeka yang miskin, selama ia tidak  menentukan kepada orang tertentu atau penduduk kampung tertentu. Bila ia menentukan, maka wajib memberikannya kepada orang yang ditentukannya itu. Tidak wajib menentukan tenpat tertentu atas puasa dan salat, dan tidak wajib pula menentukan waktu atau sedekah.

Hukum nadzar orang kafir dan anak-anak

Nadzarnya kafir, anak-anak, atau orang gila tidak termasuk nadzar orang muslim yang dewasa. Maka, tidak sah nadzar mereka, seperti halnya nadzar orang dungu. Menurut suatu pendapat ada yang mengatakan sah nadzar orang kafir.

Dikecualikan dari kata “mendekatkan diri kepada Allah”, yaitu mengenai perbuatan maksiat, misalnya nadzar pada puasa hari tasyriq, salat yang tidak ada sebabnya pada waktu makruh, maka semuanya itu tidak sah.

Hukum bernadzar perbuatan maksiat dan makruh

(Disamakan) seperti (bernadzar pada) perbuatan maksiat, yaitu nadzar melaksanakan perbuatan makruh, misalnya salat dekat kuburan, nadzar untuk salah seorang kedua orang tuanya atau untuk anak-anaknya saja (maka itu tidak sah). Demikian pula (bernadzar pada) pekerjaan yang mubah, seperti “Karena Allah, saya wajib makan atau tidur,” walaupun maksudnya agar menguatkan ibadah atau agar rajin ibadah. Menurut kaul yang lebih benar, nadzar mubah itu tidak ada kifaratnya.

Kecuali dari kalimat “tidak ditentukan” yaitu perkara yang ditentukan, misalnya mengerjakan pekerjaan fardu ‘ain, misalnya salat fardu, memenuhi kewajiban mengeluarkan sepermpatpuluh dari zakat harta dagangan, dan meninggalkan yang diharamkan (maka tidak sah nadzarnya).

Hanya saja sah nadzar dari orang dewasa dengan ucapan yang kontan, yaitu mewajibkan mengerjakan taqarrub tanpa ditangguhkan pada sesuatu, dan inilah nadzar kebaikan (sebab untuk mengharap pahala dari Allah).

Ucapan-ucapan nadzar

Misalnya berkata “Karena Allah, wajib kepadaku mengerjakan sesuatu dari salat, puasa, ibadah haji, sedekah, membaca Quran, atau i’tikaf”, atau berkata “saya wajib sesuatu”, walaupun tidak mengucapkan karena Allah.

Atau berkata “saya nadzar sesuatu”, walaupun ia tidak menyebutkan karena Allah.

Atau (sah juga) dengan ucapan yang ditangguhkan, dan (yang demikian ini) disebut nadzar mujazah (memberi alasan), yaitu mewajibkan dirinya berbuat taqarrub sebagai imbalan atas berhasilnya perkara yang disukai, berupa kenikmatan atau ditolaknya bahaya.

Misalnya “Kalau Allah menyembuhkan penyakitku atau menyelamatkan aku, maka aku akan mengerjakan…..” atau “Aku mewajibkan diriku”, atau “wajib bagiku sesuatu….”

Tidak termasuk “ucapan”, yaitu niat. Maka tidak sah dengan niat saja (tanpa ucapan), seperti halnya akad-akad lainnya, kecuali dengan ucapan. Menurut suatu kaul, “sah nadzar dengan niat saja.”

Maka ia wajib mengerjakan apa yang ia wajibkan seketika mengenai nadzar yang kontan, ketika adanya sifat mengenai nadzar yang ditangguhkan. Zhahirnya adalah perkataan ulama “Sesungguhnya orang itu wajib mengerjakannya seketika sesudah ada yang ditangguhkannya.” Berbeda dengan tujuan perkataan Ibnu Abdis Salam (pendapatnya adalah sebaliknya).

Tidak disyaratkan menerima ucapan orang yang dinadzarinya dalam kedua macam pembagian nadzar itu dan tidak wajib menerima seketika dengan perbuatannya, bahkan yang disyaratkan tidak menolaknya.

Hukum bernadzar untuk orang tua dan anak

Sah bernadzar dengan barang  yang masih dalam jaminan yang berutang kepadanya, walaupun tidak diketahui. Maka bebaslah kewajiban yang meminjam itu seketika walaupun dia tidak menerimanya. Hal ini berbeda dengan pendapat Syeikh Bulquni.

Kalau bernadzar untuk selain dari salah seorang kedua orang tua atau anak-anaknya dari ahli warisnya dengan hartanya sehari sebelum dia sakit yang diakhiri dengan matinya, maka orang yang dinadzarinya memiliki seluruh yang dinadzarkannya tanpa berserikat dengan orang lain, sebab hak milik yang bernadzar sudah hilang dari harta tersebut.

Keterangan:

  1. Tidak sah bernadzar untuk orang tuanya.
  2. Tidak sah bernadzar untuk anak.
  3. Bernadzar ketika sakit yang menimbulkan kematian, jangan melebihi sepertiga harta, sebagaimana halnya wasiat.

Orang tua tidak boleh mencabut kembali nadzarnya untuk seluruh anaknya (kalau bernadzar untuk salah seorang anak, tidak boleh). Sah nadzar yang ditangguhkan, seperti “Jika aku sakit, maka barang yang dinadzarkan itu milik yang aku beri sehari sebelum aku sakit.”

Orang yang bernadzar itu boleh menggunakan barangnya sebelum tiba waktu yang dinadzarkannya.

Perkataan yang tidak termasuk nadzar

Tidak termasuk nadzar, perkataan “Kapan saja berhasil bagiku perkara ……. maka aku akan datang padamu membawa sesuatu,” selama orang itu tidak menyertakan ucapan kewajiban atau nadzar.

Banyak ulama memberi fatwa mengenai dua orang yang bermaksud berjual beli, lalu mereka bersepakat akan saling nadzar dengan hartanya masing-masing, lalu mereka mengerjakannya, maka sah walaupun yang nadzar pertama menambahkan kalimat, “Kalau kamu bernadzar untukku dengan hartamu.” Pekerjaan semacam itu banyak terjadi pada barang yang tidak sah menjualnya dan sah nadzarnya.

Orang yang diberi nadzar, sah membebaskan barang yang dinadzarkannya bagi yang bernadzar (semisal utang piutang).

Qadhi ‘Iyadh berkata “Tidak disyaratkan bernadzar mengetahui apa yang ia nadzarkan, seperti: seperlima barang yang keluar dari hasil tanaman, semua anak yang akan lahir dari umatku (bukan wanitaku), buah pohonku yang ini.”

Qadhi pun menerangkan bahwa tidak wajib zakat dari seperlima yang dinadzarkan. Selain dari Qadhi berkata “tempatnya nadzar itu bila sebelum buahnya keras (matang)”.

Hukum bernadzar bagi janin dan orang yang sudah mati

Sah bernadzar untuk janin, demikian pula halnya dengan berwasiat baginya, bahkan nadzar lebih baik dari wasiat.

Tidak sah bernadzar untuk mayat, kecuali untuk keperluan makam Syeikh fulan (anu) ….. dan maksudnya untuk taqarrub dengan nadzarnya di situ, seperti memasang lampu untuk dimanfaatkan, atau ada kebiasaan yang berlaku (memperbaiki kuburan), maka pantaslah nadzar itu.

Hukum bernadzar untuk kemaslahatan makam Nabi Muhammad saw

Terjadi pada sebagian orang awam, katanya “saya jadikan ini untuk Nabi saw” maka sah perkataan itu, sebab sudah masyhur menurut adat mereka untuk nadzar dan dipergunakan untuk kemaslahatan makam Nabi (keturunan Nabi saw).

Bernadzar untuk Memelihara Masjidil Haram, Masjid Nabawi dan Masjidil Haram

Syeikh Subki berkata “Yang mendekati kebenaran adalah untuk memelihara Ka’bah, hujrah yang mulia (makam Nabi saw), dan masjid yang tiga (Masjidil Haram, Masjid Nabawi, dan Masjidil Aqsha).”

Sesungguhnya orang yang mengeluarkan sesuatu dari hartanya untuk ketiga macam tersebut secara nadzar dan adat menuntut penggunaannya pada jalan tersebut, maka gunakanlah untuk itu (seperti memelihara bangunan, memasang lampu, memasang kiswah atau gorden, dan perbaikan).

Ibnu Hajar berkata “Kalau adat tidak menuntut akan sesuatu (sebab belum biasa dan sebagainya), maka yang berlaku sesungguhnya nadzar itu kembali pada penentuan menggunakannya atas pemikiran pengurusnya.”

Ibnu Hajar pun berkata “Jelas, bahwa seperti itulah hukum dalam menggunakan barang penadzaran untuk masjid selain masjid yang tiga (bergantung adat atau maksud pengurus, bila tidak ada ketentuan).”

Sebagian ulama memberikan fatwa tentang perkataan “Kalau Allah memenuhi hajatku, maka saya akan membiayai Ka’bah sebanyak sekian.” Maka nadzarnya itu tertentu untuk kemaslahatan Ka’bah, jangan diberikan kepada para fakir Tanah Haram.

Kalau orang bernadzar sesuatu untuk Ka’bah dan berniat menggunakannya untuk ibadah tertentu, seperti memasang lampu, maka penggunaannya pada ibadah tertentu itu kalau memang dibutuhkan. Kalau tidak dibutuhkan karena sudah cukup, maka barang itu boleh dijual, lalu uangnya dipergunakan untuk kemaslahatan Ka’bah.

Kalau orang bernadzar memasang lampu, misalnya lilin atau minyak di masjid, maka sah kalau di sana ada yang memanfaatkannya walaupun jaran, kalau tidak ada, maka tidak sah (sebab menyia-nyiakan harta).

Kalau orang bernadzar menghadiahkan barang yang perlu dipindahkan ke Mekah, maka ia wajib memindahkannya dan bersedekah dengan barang itu kepada kafir Tanah Haram, selama orang itu tidak menentukan ibadah lain, misalnya mengharumkan Ka’bah, maka gunakanlah untuk itu.

Kewajiban nadzir mengongkosi hadiah yang ditentukan itu ke Tanah Haram. Kalau sekiranya sukar bagi nadzir, ia boleh menjual sebagian barangnya itu untuk ongkos memindahkan sebagiannya lagi.

Kalau sukar memindahkannya, seperti nadzar dengan pekarangan atau batu penggilingan, maka juallah barang itu walaupun tanpa izin hakim dan memindahkan uang harganya lalu ia menyedekahkannya kepada para fakir Tanah Haram. Apakah orang itu boleh menahannya dengan harganya atau tidak? maka ada dua jalan (boleh dan tidak).

Nadzar untuk salat di Masjidil Haram, Masjid Nabawi dan Masjidil Haram

Kalau seorang bernadzar akan salat pada Masjidil Haram, Masjidil Aqsha, dan Masjid Nabawi, maka telah mencukupi apabila salat pada salah satu dari masjid-masjid tersebut, sama halnya dengan i’tikaf. Apabila seseorang bernadzar salat di masjid Madinah, tidak cukup jika melakukan dengan 1.000 kali salat pada selain masjid Madinah. Demikian pula sebaliknya.

Bernadzar untuk membaca Al Qur’an dan bersedekah

Tidak mencukupi pula membaca surat Al Ikhlas apabila bernadzar membaca sepertiga dari Quran (walaupun ada hadis yang menerangkan bahwa membaca surat Al Ikhlas sama dengan membaca sepertiga isi Al Qur’an).

Barang siapa yang nadzar akan mendatangi seluruh masjid dan salat sunat padanya, ia boleh salat semaunya walaupun di rumahnya (sebab dengan demikian, dianggap mencukupi dari salat yang dinadzarkan). Kalau nadzar bersedekah satu dirham, tidak mencukupi (bila diganti) dengan jenis uang yang lainnya.

Kalau nadzar bersedekah dengan harta yang disertai zatnya, maka harta itu hilang dari miliknya. Kalau berkata “saya berkewajiban sedekah dengan 20 dinar”, serta ia menentukan akan dinarnya kepada si fulan; atau berkata “kalau sembuh sakitku, maka aku wajib bersedekah kepada si fulan 20 dinar”, maka dimiliki si fulan lah uang itu walaupun ia belum menerimanya dan orang yang bernadzar itu belum menyerahkannya. Bahkan kalau si fulan menolaknya, maka orang yang bernadzar itu berhak menggunakan uang tersebut.

Haul zakat uang itu sah sejak dari nadzarnya, dan demikian pula (memiliki yang diberi nadzarnya) kalau orang itu tidak menentukan uangnya dan yang diberi nadzar tidak menolak uangnya, maka uang itu menjadi utang yang menadzarkan.

Tetap berlaku hukum utang bagi 20 dinar itu dari kewajiban zakat dan selainnya. Katika barang yang ditentukan itu rusak, maka tidkaa wajib menggantinya, kecuali kalau ia lalai mengurusnya, menurut penjelasan Ibnu Hajar.

Kalau nadzar akan memakmurkan masjid yang tertentu atau pada tempat tertentu, maka ia tidak boleh memakmurkan yang lainnya sebagai pengganti dari masjid yang ditentukan dan tidak boleh di tempat lain yang tidak ditentukan.

Hukum nadzar orang yang berhutang dengan harta yang ditentukan

Ada ulama yang berbeda pendapat tentang nadzar orang yang berutang dengan harta yang ditentukan untuk orang yang mengutangkannya, selama utang itu dalam tanggungannya (belum dibayar). Mereka berpendapat tidak sah, sebab menurut mereka cara ini bukan dimaksudkan karena Allah. bahkan cara ini mengakibatkan riba nasiah (yaitu mensyaratkan waktu pada salah satu ‘iwad atau penukaran).’

Sebagian lagi berkata, “Sah nadzarnya, sebab sebagai imbalan atas datangnya nikmat keuntungan pinjaman kalau piutangnya dipakai berdagang.”

Atau dalam nadzar itu mengandung penolakan aniaya penagihan (agar jangan cepat ditagih). Kalau yang nadzar membutuhkan tetapnya utang itu pada tanggungannya karena merasa kesulitan (mengembalikannya) atau karena dipakai memberi nafkah (kepada keluarganya) dan karena yang berutang disunatkan agar mengembalikan utangnya dengan tambahan dari piutangnya. Maka apabila menetapkan tambahan itu dengan nadzar (dari yang berutang), sah nadzarnya dan wajib baginya tambahan itu. Yang demikian itu merupakan imbalan kebaikan, tidak berhubungan dengan riba, sebab riba itu tidak terbukti kecuali dalam akad seperti jual beli. Karena itu, kalau orang mensyaratkan kepada orang yang berutang agar nadzar pada akad pinjaman, adalah riba.

 

Sumber: Kitab Fat-hul Mu’in karangan Zainuddin bin Abdul Aziz al Malibari al Fannani

Scroll to Top