Barang siapa yang terkena najis ‘ainiyah, bisa suci dengan cucian yang bisa menghilangkan sifat najis, rasa, rupa dan baunya. Bila rupa bekas najis atau baunya sulit dihilangkan, tidak apa-apa, walaupun najis mughallazhah. Tetapi kalau sifat najis; rupa dan baunya masih tetap tinggal, tidak suci.
Bisa suci barang yang terkena najis hukmiyah, misalnya air kencing yang kering yang tidak terlihat sifatnya, yaitu dengan cara memercikkan air satu kali, walaupun yang mutanajis itu berupa biji atau daging yang ditumbuk bersama najis, atau baju yang dicelup dengan najis, maka bagian dalamnya bisa suci dengan menyiramkan air di bagian luarnya, seperti halnya pedang yang dicor, yaitu yang dipanaskan dengan api najis.
Untuk menyucikan tempat najis, disyaratkan menyiramkan sedikit air pada tempat yang mutanajis. kalau airnya banyak, boleh dengan memasukkannya ke dalam air. Kalau barang mutanajis mengenai air yang sedikit dan tidak melimpah, maka tetap mutanajis, walaupun airnya tidak berubah karena air itu tidak menyucikan pada yang lainnya.
Hukum air yang datang (mengalir pada barang yang mutanajis sehingga tidak menjadi najis) berbeda dengan selainnya, karena air mengalir itu menolak pada najis (lain halnya dengan najisnya yang datang, air itu tidak dapat menolak najis tersebut). kalau mulut seseorang terkena najis, cukup dengan mengambil ar dengan tangan lalu dimasukkan ke dalam mulutnya, walaupun tangannya itu tidak ditaruh di atas mulutnya.
Wajib mencuci setiap perkara yang berada di luar mulut, walaupun dengan cara memutarkan air itu seperti menuangkan air pada bejana yang terkena najis lalu memutarkannya ke seluruh sisi (bejana). Tidak boleh menelan sesuatu sebelum mencuci mulutnya hingga memutarkan air ke dalam kerongkongan.
Sumber: Kitab Fat-hul Mu’in karangan Zainuddin bin Abdul Aziz al Malibari al Fannani