Kalau tanah terkena najis, umpamanya air kencing, lalu kering, kemudian tempat najis itu disiram air hingga melimpah, maka sucilah tanah itu walaupun air tidak meresap ke dalam tanah, baik keadaan anahnya keras maupun gembur.
Kalau keadaan tanahnya tidak menyerap air, haruslah menghilangkan bukti najis dulu sebelum mengalirkan air sedikit padanya, seperti bejana yang terkena najis (wajib menghilangkan bukti najis dulu, lalu bekasnya disiram dengan air).
Kalau najis itu membeku, terpecah-pecah, dan bercampur dengan tanah, maka tanah itu tidak suci, sebagaimana tanah yang tercampur dengan nanah, tidak suci dengan hanya menyiramkan air di atasnya, melainkan mesti menghilangkan semua tanah yang bercampur dengan najis itu.
Sebagian ulama berfatwa mengenai mushaf yang terkena najis yang tidak dimaafkan, maka mushaf itu wajib dicuci walaupun berakibat rusak dan meskipun mushaf itu milik anak yatim.
Wajib secara pasti mencucinya bila najis itu mengenai Al Qur’an walaupun sedikit. berbeda bila najis itu hanya mengenai sampul atau pinggirnya.
Air bekas mencuci sesuatu yang kena najis, walaupun najis yang dimaafkan, misalnya setetes darah, kalau sudah berpisah (dari tempat najis yang dicuci) dan air bekas mencuci sesuatu yang kena najis, walaupun najis yang dimaafkan, misalnya setetes darah, kalau sudah berpisah (dari tempat najis yang dicuci) dan telah hilang bukti, sifat, tidak berubah, dan tidak bertambah timbangannya setelah memperhitungkan air yang diserap oleh baju dan air dari kotoran yang dicuci, serta tempatnya telah suci, maka air tersebut suci. Air yang diserap baju dan kotoran cukup dengan sangkaan saja(tidak wajib meyakininya).
Sumber: Kitab Fat-hul Mu’in karangan Zainuddin bin Abdul Aziz al Malibari al Fannani