Keterangan yang diterima dari Sayyidina Ali radhiyallahu ‘anhu wa karrama wajhah, bahwa tidak henti-hentinya agama dengan dunia itu tegak dua-duanya (maksudnya dhahir/nyata keduanya), selagi tetap/langgeng empat macam perkara.
Yang pertama adalah selagi tetap orang-orang kaya tidak pelit terhadap perkara yang sudah diberi rizki oleh Allah swt, serta tidak mencegah terhadap perkara yang sudah diwajibkan kepada orang-orang kaya itu.
Yang kedua selagi para ulama tetap mengamalkan ilmunya, dari perintahnya Allah dan larangan-Nya.
Yang ketiga adalah selagi orang-orang bodoh tidak takabur (sombong) terhadap perkara yang tidak diketahuinya. Mereka tidak memalingkan muka atau tidak enggan untuk belajar perkara yang tidak diketahuinya.
Dan yang keempat adalah orang-orang pintar tidak menjual akhiratnya dengan dunianya, artinya orang pintar tersebut tetap tidak meninggalkan agamanya dengan mengambil dunia.
Orang-orang yang sudah diberi rizki oleh Allah, terutama orang kaya yang hartanya banyak dan berlimpah jangan sampai pelit. Artinya mereka dikenakan kewajiban untuk membayar zakat dari harta yang dimilikinya. Selain itu mereka juga sangat dianjurkan untuk memberikan shadaqah kepada orang yang membutuhkan.
Peran ulama sangat besar sekali dalam kemajuan dan kemaslahatan umat. Oleh karena itu, mereka harus selalu mengerjakan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya, serta bisa memberi contoh kepada orang lain (umat).
Orang yang merasa dirinya bodoh, jangan menjadi orang yang sombong (sok tahu). Dia harus mau belajar kepada orang-orang yang lebih pintar dari dirinya dalam segala hal atau perkara yang tidak diketahuinya.
Orang pintar haruslah bisa menjaga diri dan agamanya, jangan sampai dia menjadi orang yang menjual agamanya demi dunia. Kalau sampai hal ini terjadi (lebih memilih dunia), maka dia akan jadi orang yang rugi di dunia dan di akhirat.
Sumber: Kitab Nashaihul ‘ibaad karangan Syeikh Muhammad Nawawi bin ‘umar