Didunia ini ada sebagian orang yang diberi keutamaan oleh Allah, seperti diangkat menjadi nabi dan rasul, atau dijadikan wali. Nah kenabian dan kerasulan itu tidak bertentangan dengan sifat kemanusiaan.
Para nabi diwenangkan (diperbolehkan) memiliki sifat basyariyah, yang tidak mengurangi sifat kerasulannya. Seperti firman Allah swt yang menetapkan adanya para rasul semua, sering maka, minum, dan menikah.
Firman Allah: “Wamaa arsalnaa min qablika minal mursaliina illaa annahum laya’kuluunat tha’aama wayamsyuuna fil aswaqi”.
“Walaqad arsalnaa rasuulan min qablika waja’alnaa lahum azwajan…………”
Jadi sifat kewalian dan sifat kenabian, yaitu cahaya Allah yang disimpan didalam hati itu tidak akan merubah kedudukan orang yang memiliki sifat basyariyah. Contohnya adalah seperti matahari yang menerangi sebuah tempat, nah tempat itu terang bukan karena tempatnya yang bercahaya. Tetapi cahaya matahari yang menyatu dengan tempat tersebut, sehingga tempat itu tidak perlu rubah kedudukannya. Apabila matahari bersinar maka tempat itu terang, dan kalau matahari menghilang maka tempat itu kembali gelap.
Begitu juga dengan walinya Allah yang awalnya hatinya itu gelap, tetapi karena terus kedatangan cahaya Allah maka ketika datangnya cahaya tersebut, walinya Allah jadi bercahaya. Nah itu berarti dia sedang kedatangan khusyu shiyyah, yaitu keistimewaan dari Allah.
Kedudukan walinya Allah tidak harus berubah dari sifat basyariyah nya, biasanya sering makan, minum dan menikah, hal ini tidak perlu berubah.
Cahaya yang ada di wali bukan muncul dari wali untuk menerangi wali, tetapi datang dari Allah ke dalam hatinya wali.
Para nabi yang memiliki mukjizat dan para wali yang memiliki karamah, masih tetap memiliki sifat basyariyah. Maka terkadang bercahaya terlihat karamahnya, dan terkadang diangkat lagi.
Ketika kedatangan mukjizat atau karamah, para nabi dan wali tersebut sering keluar dari kebiasaan, yaitu karena kedatangan cahaya dari Allah. Dan dimana-mana dicabut keistimewaannya, maka akan kembali lagi seperti manusia biasa.
Diambil dari kitab Al Hikam karangan Assyeikh al Imam Ibni ‘Athoillah Assukandari (hikmah kedua ratus tiga puluh sembilan)