Kalau tidak dhohir dzat Allah dalam mukawwanat (dalam macam-macam perkara) yang diadakan oleh Allah, maka tidak akan bukti mukawwanat itu wujudnya macam-macam penglihatan. Dan kalau dhohir macam-macam sifatnya Allah, maka bakal lebur atau menghilang macam-macam mukawwanatnya Allah.
Allah itu memperlihatkan kepada makhluknya dan menyatakan adanya, yaitu dengan sebab menciptakan makhluk. Sehingga dengan adanya makhluk terlihat adanya khaliq. Apabila diilustrasikan seperti seseorang di dalam rumah yang menyatakan ada orang didalam, lalu menyalakan lampu diluar, maka dengan adanya lampu bisa dinyatakan ada orang didalam rumah.
Jadi Allah swt mengadakan makhluk (menciptakannya), hakikatnya Allah itu memperlihatkan akan adanya Dia yang menciptakan makhluk tersebut. Kalau Allah tidak mendhohirkan dalam mukawwanat, pasti tidak akan ada penglihatan yang bisa melihat mukawwanat. Sebab mukawwanatnya tidak ada, sekaligus penglihatannya juga tidak ada.
Apabila dhohir sifat-sifat Allah, maka bakal lebur dan rusak semua mukawwanat. Yaitu seperti yang dikatakan oleh Allah swt dalam riwayat ketika Nabi Musa ingin melihat dzat Allah. Maka menurut Allah “Kamu belum waktunya melihat Aku, lihatlah oleh kamu gunung, kalau gunung menetap kamu bisa melihat-Ku.” Maka ketika Allah tajalli untuk gunung itu, gunung tersebut menghilang, sehingga Nabi Musa tersungkur dan pingsan.
Juga didalam hadist diterangkan bahwa Allah swt tertutupi oleh cahaya, yang apabila dibuka cahaya tersebut maka akan berantakan (rusak) segala keadaan.
Kesimpulannya bahwa dengan diadakannya mukawwanat oleh Allah untuk menyatakan akan adanya Allah yang menciptakannya. Dengan adanya mukawwanat itu cukup untuk menjadikan dalil tentang adanya macam-macam kekuasaan Allah dan wahdaniat nya Allah. Seperti yang dijelaskan dalam Al Quran “Inna fii khalqis samaawati wal ardhi la aayaatil liqaumiy ya’qiluun, diciptakannya oleh Allah langit dan bumi itu menjadi dalil terhadap wahdaniat nya Allah bagi orang-orang yang berakal.”
Keterangan : Mukawwanat ; Yang Menciptakan
Diambil dari kitab Al Hikam karangan Assyeikh al Imam Ibni ‘Athoillah Assukandari (hikmah keseratus tiga puluh lima)