Pengertian kitabah
Kitabah menurut istilah syara’ ialah “suatu transaksi memerdekakan budak dengan memakai kata-kata kitabah yang berkaitan dengan sejumlah uang tebusan yang dicicil selama dua kali angsuran labih.”
Hukum kitabah
Hukum kitabah itu sunat, bukan wajib, sekalipun si budak yang bersangkutan sendiri mengajukan permohonannya, perihalnya sama dengan tadbir. Kitabah dapat dilaksanakan atas dasar permohonan budak yang bersangkutan yang dipercaya lagi mempunyai mata pencaharian yang dapat mencukupi untuk dirinya sendiri dan angsuran yang akan dibayarnya.
Tetapi jika persyaratan di atas tidak ada, atau salah satu saja yang tidak ada, maka hukum kitabah menjadi mubah (boleh, bukan sunat).
Syarat sah transaksi kitabah
Disyaratkan bagi keabsahan transaksi kitabah, hendaknya memakai kata-kata yang menunjukkan kepada pengertian kitabah dalam ijab, seperti “Aku kitabahkan dirimu,” atau “Engkau menjadi budak mukatab dengan pembayaran sekian,” umpamanya seratus dinar secara cicilan. Tetapi disertai pula kalimat berikut (sebagai kelengkapannya) yaitu, “Apabila kamu dapat melunasinya, berarti kamu merdeka.”
Untuk kabulnya ialah memakai kata-kata seperti, “Aku terima transaksi berikut.”
Dalam transaksi kitabah disyaratkan disebutkan (jenis tebusan yang harus dibayar oleh si budak sebagai) penukaran (kemerdekaan dirinya), baik berupa piutang ataupun jasa secara bertempo, agar si budak yang bersangkutan mempunyai tenggang waktu untuk menghasilkannya sebagai pembayaran, yaitu dengan dicicil dua kali angsuran lebih. Demikianlah cara yang dilakukan oleh sebagian besar para sahabat ridhwaanullaahi ‘alaihim, sekalipun terhadap budak muba’adh (hal tersebut diberlakukan pula).
Di samping itu dijelaskan pula (di dalam transaksi itu) nilai tebusan dan spesifikasinya, serta bilangan angsuran dan besarnya tiap cicilan yang harus dibayar.
Dalam melakukan transaksi kitabah yang benar, sebelum memerdekakan budaknya, tuan yang bersangkutan diharuskan menurunkan harga penukaran (tebusan) (untuk meringankan beban si budak yang bersangkutan) karena firman Allah swt berikut,
“Dan berikanlah kepada mereka (budak-budak) sebagian dari harta Allah yang dikaruniakan-Nya kepada kalian.” (An Nur ayat 33)
Pengertian “memberikan” yang ada dalam ayat ini dalam realisasinya ditafsirkan seperti keterangan yang disebut di atas, sebab tujuan utamanya ialah membantu budak untuk memerdekakan dirinya dari perbudakan (yakni mengalokasikan dana tersebut untuk menolong budak).
Korting yang dimaksudkan senilai seperempat dari harga yang ditransaksikan atau sepertujuhnya, merupakan hal yang paling utama.
Tidak boleh membatalkan transaksi kitabah
Tidak boleh di-fasakh (dibatal)kan, artinya si tuan tidak boleh mem-fasakh transaksi kitabah yang telah ditandatanganinya, kecuali jika budak mukatab yang bersangkutan macet, tidak mampu membayar sekali cicilan yang telah jatuh tempo atau sebagian dari cicilannya. Atau budak yang bersangkutan tidak mau membayar cicilannya di saat tempo pembayaran telah jatuh, padahal dia mampu membayarnya. Atau di saat jatuh tempo pembayaran cicilan, budak yang bersangkutan tidak ada di tempat, sekalipun harta miliknya ada di tempat atau kepergiannya dalam jarak kurang dari perjalanan qashar.
Dalam keadaan seperti itu pihak tuan diperbolehkan membatalkan transaksi kitabah budak secara sepihak dan dapat pula melalui prosedur hukum, kapan pun dia kehendaki, karena macetnya pembayaran. Dalam hal ini hakim yang bersangkutan tidak berhak membayarkan cicilan itu dari harta si budak yang sedang tidak ada di tempat.
Budak mukatab boleh membatalkan transaksi kitabah
Pihak budak mukatab diperbolehkan pula membatalkan transaksi kitabah, perihalnya sama dengan masalah barang gadaian dalam kaitannya dengan penerima gadai (yakni boleh membatalkan transaksi gadai). Budak yang bersangkutan diperbolehkan tidak membayar angsurannya dan membatalkan transaksinya, sekalipun dia memiliki kecukupan untuk menutupi angsurannya.
Sumber: Kitab Fat-hul Mu’in karangan Zainuddin bin Abdul Aziz al Malibari al Fannani