Tidak boleh mengambil data kesaksian dari wanita yang memakai cadar muka hanya dengan mengandalkan suara wanita itu. Orang yang melihat tidak boleh pula mengambil data kesaksian dalam kegelapan hanya karena mengandalkan kepada suara, sebab suara mempunyai keserupaan (antara yang satu dengan yang lainnya).
Memang dibenarkan seandainya saksi mendengarkan suara wanita yang bercadar, lalu ia menguntit sampai datang ke kadi, selanjutnya mengemukakan kesaksian terhadap wanita tersebut (di hadapan kadi). Hal ini diperbolehkan, keadannya disamakan dengan orang tuna netra (dalam kesaksiannya). Tetapi dengan syarat hendaknya wanita tersebut membuka cadar mukanya agar kadi mengetahui rupanya dengan jelas.
Segolongan ulama ada yang mengatakan, “Tidak sah pernikahan yang dilakukan oleh wanita bercadar muka, kecuali jika wanita itu telah diketahui nama, nasab, dan rupanya (sebelum itu) oleh kedua saksi laki-lakinya.”
Kesaksian yang menyangkut masalah nasab
Seseorang diperbolehkan mengemukakan kesaksian, tanpa ada yang menyangkalnya, terhadap masalah nasab (keturunan), sekalipun dari jalur ibu atau kabilah, dan status merdeka, wakaf, meninggal dunia, nikah, serta pemilikan hanya dengan melalui pendengaran, yaitu berdasar keterangan lengkap dari sejumlah orang-orang yang dijamin aman dari kedustaan, yakni mustahil mereka sepakat melakukan suatu kedustaan karena jumlah mereka cukup banyak. Maka dengan pemberitaan mereka itu tersimpul suatu informasi dan keyakinan yang kuat.
Dalam kesaksian seperti ini tidak disyaratkan status merdeka mereka dan tidak pula hanya untuk laki-laki.
Tidak cukup dalam kesaksian ini hanya dengan mengatakan, “Aku mendengar orang-orang mengatakan demikian,” melainkan dia (si saksi) harus mengatakan, “Aku bersaksi bahwa si Anu adalah anak laki-laki si Fulan,” misalnya.
Sumber: Kitab Fat-hul Mu’in karangan Zainuddin bin Abdul Aziz al Malibari al Fannani