Dasar-dasar untuk memutuskan perkara

Kadi atau hakim memutuskan perkara melalui ijtihadnya, jika dia seorang mujtahid. Atau berdasarkan ijtihad imam yang diikutinya, jika dia seorang muqallid (pengikut suatu mazhab).

Kesimpulan dari pendapat Imam Rafi’i dan Imam Nawawi menyatakan, “Seorang muqallid tidak boleh memutuskan perkara, melainkan hanya berdasarkan mazhab imam yang diikutinya.”

Al Mawardi dan lain-lainnya mengatakan boleh (memutuskan perkara berdasarkan mazhab imam lainnya).

Ibnu Abdus Salam dan Al Adzru’i serta yang lainnya menggabungkan semua pendapat di atas, dengan kesimpulan bahwa pendapat pertama dikenakan terhadap kadi yang belum mencapai derajat mujtahid dalam mazhab imam. Dengan kata lain, dia semata-mata adalah seorang muqallid yang belum dapat berfikir untuk melakukan pertimbangan dan belum dapat melakukan tarjih (penyeleksian pendapat). Sedangkan pendapat kedua dikenakan terhadap orang yang benar-benar ahli untuk melakukan hal tersebut (pertimbangan dan penyelesaian).

Keputusan yang dapat dicabut kembali

Ibnu Rif’ah menukil dari murid-murid Imam Syafii, “Apabila hakim muqallid mengalami suatu kejelasan keputusan hukum yang berbeda dengan nash imam yang diikutinya, maka keputusan itu dapat dicabut kembali.”

Imam Nawawi di dalam kitab Ar Raudhah sependapat dengannya, demikian pula As Subuki.

Imam Ghazali mengatakan bahwa hakim tidak boleh mencabut keputusan hukumnya. Pendapat ini diikuti oleh Imam Rafii dalam suatu pembahasan mengenainya.

 

Sumber: Kitab Fat-hul Mu’in karangan Zainuddin bin Abdul Aziz al Malibari al Fannani

Scroll to Top