Seorang mufti dianjurkan agar bersikap ekstra hati-hati dalam memutuskan kafir selagi masih ada cara untuk menghindarinya, karena bahayanya sangat besar dan kebanyakan tidak dimaksudkan (sebagai kekufuran), terlebih lagi di kalangan orang-orang awam.
Prinsip inilah yang selalu dipegang oleh para imam kita sejak dahulu hingga sekarang.
Pelaku kemurtadan harus disuruh bertobat
Orang yang melakukan kemurtadan, baik laki-laki ataupun perempuan, harus disuruh bertobat karena sebelumnya dia dalam keadaan muhtaram berkat keislamannya, dan kemungkinan ia mengalami suatu ke-syubhatan insidental, hingga kesyubhatan itu dapat dihilangkan dengan seketika.
Kemudian jika dia tidak juga mau bertobat setelah disuruh bertobat, maka ia dihukum mati. orang yang memutuskannya adalah hakim, sekalipun yang melaksanakannya adalah petugas.
Cara mengeksekusi orang murtad
Cara mengeksekusinya ialah dengan memenggal kepala, bukan dengan cara lain, tanpa menangguhkan waktu, yakni hukuman tersebut dilaksanakan ketika itu juga setelah diminta untuk bertobat (lalu ia menolak). Demikian menurut hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari, yaitu:
Barang siapa yang mengganti agamanya, maka bunuhlah dia oleh kalian.
Tetapi bila dia mau masuk islam lagi, maka islamnya sah dan ia dibiarkan hidup, sekalipun sebelum itu perbuatan murtadnya terjadi secara berulang-ulang, sebab nash-nash yang menerangkan tentang masalah ini bermakna mutlak (tanpa ikatan).
Memang dibenarkan bahwa hukuman ta’zir dikenakan terhadap orang yang murtadnya terjadi berulang-ulang; tetapi uhkuman ta’zir ini tidak ditimpakan sewaktu pertama kali dia murtad, lalu bertobat. Lain halnya dengan apa yang diduga oleh para kadi yang tidak mengerti (mereka mengenakan hukuman ta’zir terhadapnya).
Sumber: Kitab Fat-hul Mu’in karangan Zainuddin bin Abdul Aziz al Malibari al Fannani