Iddah wajib dilakukan oleh seorang istri karena ditinggal mati suami, yakni selama empat bulan sepuluh hari penuh, berdasarkan dalil dari Al Qur’an dan sunnah; sekalipun istri yang ditinggalkan adalah wanita merdeka dalam talak raj’i dan masih belum digauli karena belum balig atau penyebab lainnya, sekalipun dia termasuk wanita yang mempunyai hitungan quru’.
Istri yang ditinggal mati oleh suami, selain melakukan iddah selama waktu yang disebut di atas, diwajibkan pula yaitu ber-ihdad (berbelasungkawa). Dengan kata lain, di samping ber iddah dia pun harus berbelasungkawa selama itu, tanpa memandang apa pun keadaan dirinya, (yakni baik dia sebagai istri yang berada dalam talak raj’i ataupun belum balig atau keadaan lainnya), karena berdasarkan hadis yang telah disepakati kesahihannya, yaitu:
Tidak halal bagi seorang wanita yang beriman kepada Allah dan hari kemudian melakukan ihdad (belasungkawa) karena ditinggal mati oleh seseorang lebih dari tiga hari, kecuali karena ditinggal mati oleh suaminya, maka masa ihdad (belasungkawa) adalah empat bulan sepuluh hari.
Dengan kata lain, si istri yang ditinggal mati oleh suami diperbolehkan melakukan belasungkawa selama itu. Makna yang dimaksud bukannya boleh, tetapi wajib, mengingat sesuatu yang diperbolehkan sesudah dilarang hukumnya adalah wajib.
Dasar hukum lainnya ialah kesepakatan ulama yang menyatakan bahwa makna yang dimaksud adalah wajib, kecuali hanya pendapat yang diriwayatkan dari Hasan Al Bashri. Ia berbeda pendapat.
Di dalam hadis disebutkan kata “Iman”. Makna yang dimaksud ialah sebagai prioritas atau sebagai peringatan yang mendorong lawan bicara agar lebih terpacu untuk mengerjakan perintah. Kalau tidak diinterpretasikan demikian, berarti wanita yang lainnya (yang tidak beriman) diharuskan melakukan ihdad pula sama dengan wanita yang beriman.
Seorang wali diharuskan memerintahkan wanita yang berada dalam perwaliannya untuk melakukan ihdad tersebut.
Sumber: Kitab Fat-hul Mu’in karangan Zainuddin bin Abdul Aziz al Malibari al Fannani