Habisnya masa iddah seorang istri dapat dipastikan dengan sumpahnya

Pengakuan seorag istri dapat dibenarkan melalui sumpah tentang habisnya masa iddah tanpa memakai hitungan bulan, baik melalui hitungan quru’ (masa suci atau masa haid) atau melahirkan, jika hal tersebut dapat dibenarkan, sekalipun pihak suami tidak percaya, atau memang keadaan si istri sedang berbeda dengan kebiasaannya. Dikatakan demikian karena kaum wanita dipercayakan untuk memelihara rahimnya masing-masing.

Seandainya seorang suami mengaku telah melakukan rujuk dalam iddah istrinya yang telah habis, sedangkan si istri masih belum nikah, dan keduanya telah sepakat bahwa waktu iddah habisnya pada hari jumat, lalu si suami mengatakan, “Aku telah melakukan rujuk sebelumnya,” sedangkan si istri menyangkalnya, “Tidak, bahkan sesudahnya,” maka si istri disumpah bahwa dia benar-benar tidak mengetahui suaminya telah merujuknya. Sesudah itu sanggahan si istri dapat dibenarkan, mengingat pada asalnya si suami belum melakukan rujuk sebelum hari jumat.

Apabila keduanya sepakat bahwa habisnya masa iddah adalah hari jumat, umpamanya, lalu si istri mengakui bahwa iddah habis pada hari kamis, sedangkan si suami menyangkalnya, “Tidak, bahkan iddah habis pada hari sabtu,” maka yang dibenarkan adalah pihak suami melalui sumpahnya yang menyatakan bahwa iddah istrinya habis bukan pada hari kamis. Dikatakan demikian karena keduanya telah sepakat akan waktu maksimal rujuk, dan pada asalnya sebelum itu masa iddah belum habis.

Seandainya seorang lelaki mengawini kembali istri yang telah diceraikannya sekalipun melalui khulu’, tetapi bukan talak tiga, dan sekalipun sesudah si istri kawin lagi dengan lelaki lain dan telah bersetubuh dengannya, maka si istri kembali kepada suami pertama berikut talak yang masih tersisa baginya, byukan seluruhnya, baik tinggal dua ataupun satu kali talak lagi.

 

Sumber: Kitab Fat-hul Mu’in karangan Zainuddin bin Abdul Aziz al Malibari al Fannani

Scroll to Top