Seandainya seorang lelaki berkata kepada lelaki lain, “Apakah engkau telah menceraikan istrimu?” dengan maksud agar lawan bicara melakukannya, lalu ternyata si lawan bicara menjawab, “Ya,” atau “Baiklah,” maka talaknya jatuh (jadi) dan dianggap sebagai talak yang sharih.
Talak kinayah (sindiran) tergantung pada niat
Tetapi jika si lawan bicara hanya menjawab, “Aku ceraikan,” maka hal ini merupakan talak kinayah (sindiran, yakni jatuh atau tidaknya talak bergantung kepada niatnya). Dikatakan demikian karena jawaban “Ya” merupakan lafaz yang ditentukan untuk jawaba, sedangkan lafaz “Aku ceraikan” merupakan kalimat yang menyendiri, hingga mirip sebagai kata jawaban dan mirip pula sebagai kata permulaan.
Akan tetapi, jika seseorang mengatakan kalimat tersebut kepada lawan bicaranya dengan ungkapan kalimat berita, lalu si lawan bicara menjawabnya dengan kata “ya”, maka hal tersebut merupakan ikrar talak, dan talaknya jadi menurut lahiriah jika ia berdusta; sedangkan menurut batinnya, sepenuhnya diserahkan kepada agamanya. Demikian pula jika si lawan bicara tidak mengerti tentang maksud pertanyaannya.
Jika si suami mengatakan, “Dulu aku bermaksud talak, sekarang sudah aku rujuki,” maka dia dibenarkan melalui sumpahnya mengingat adanya kemungkinan dia berniat demikian.
Seandainya dikatakan kepada lelaki yang melakukan perceraian, “Apakah engkau telah menceraikan istrimu tiga kali?”, lalu si suami menjawab, “Aku telah menceraikan,” dengan maksud sekali talak, maka si suami dibenarkan melalui sumpahnya. Karena lafaz “aku telah menceraikan” dapat diartikan sebagai jawaban dan dapat pula diartikan sebagai kalimat pemula.
Berdasarkan pengertian di atas, dapat dikatakan bahwa seandainya si istri mengatakan, “Ceraikanlah saya tiga kali!”, lalu si suami menjawab, “Aku ceraikan kamu,” sedangkan si suami tidak berniat adanya bilangan, maka yang jadi adalah sekali talak.
Seandainya seorang lelaki berkata kepada ibu istrinya (mertuanya), “Anak perempuanmu terceraikan.” (Ketika dianggap teah diceraikan) lalu si suami menyangkal dengan ucapan, “Aku bermaksud anak perempuannya yang lain (bukan istriku),” maka si suami dapat dibenarkan melalui sumpahnya.
Sama halnya andaikata si suami berkata kepada istrinya dan seorang perempuan lain, “Salah seorang dari kamu berdua terceraikan,” lalu si suami menyangkal, “Aku berniat perempuan yang lain,” mengingat maksud dari kalimatnya itu membingungkan, mana di antara keduanya yang dimaksud. Maka niatnya itu dianggap sah (dibenarkan).
Lain halnya seandainya si suami mengatakan, “Zainab terceraikan,” sedangkan nama istrinya memang Zainab, padahal dia bermaksud perempuan lain yang namanya sama, yaitu Zainab juga. Maka secara lahiriah pengakuannya itu tidak dapat diterima, melainkan diserahkan kepada niat yang ada dalam batinnya dan agamanya.
Sumber: Kitab Fat-hul Mu’in karangan Zainuddin bin Abdul Aziz al Malibari al Fannani