Seandainya si istri membebaskan suaminya, kemudian ia menyatakan bahwa dirinya tidak mengetahui jumlah maskawinnya, jika dia dikawinkan ketika masih kecil, dapat dibenarkan melalui sumpahnya. Atau jika telah balig dan keadaan memperkuat pengakuan tidak tahunya, umpamanya ia dinikahkan dengan paksa tanpa diberi tahu terlebih dahulu, maka sama dengan masalah di atas. Tetapi jika tidak demikian keadaan si istri, yang dibenarkan adalah pengakuan pihak suami melalui sumpahnya.
Seandainya seorang suami berkata, “Jika engkau bebaskan aku dari maskawin, maka engkau adalah orang yang terceraikan sesudah satu bulan,” lalu si istri membebaskannya, maka si suami terbebaskan (dari maskawinnya) secara mutlak. Kemudian jika si suami masih hidup sampai satu bulan lewat, maka si istri terceraikan. Tetapi jika si suami meninggal dunia sebelum satu bulan, maka si istri tidak terceraikan.
Di dalam kitab Al Anwar sehubungan dengan kasus, “Aku bebaskan kamu dari maskawin yang harus kau bayar kepadaku dengan syarat engkau harus menceraikan diriku,” lalu si suami menceraikannya, maka talaknya itu jadi, tetapi si suami tidak terbebas dari maskawin.
Tetapi apa yang terdapat di dalam kitab Al Kafi kemudian diperkuat oleh Al Bulqini dan lain-lainnya sehubungan dengan kasus, “Aku bebaskan kamu dari maskawinku dengan syarat cerai atau hendaknya kamu menceraikan diriku,” disebutkan bahwa si istri tertalak ba’in dan suami terbebas.
Lain halnya dengan masalah, “Jika kamu menceraikan maduku, maka engkau terbebas dari maskawinku,” lalu si suami menceraikan madunya, maka talaknya itu jatuh, tetapi dia tidak terbebas dari maskawinnya.
Di dalam kitab Al Anwar, disebutkan bahwa syarat yang disebut oleh pihak istri, yakni “Jika kamu menceraikan diriku, maka engkau terbebas dari maskawinku” mengandung pengertian ta’liq.
Tidak termasuk istri yang meminta khulu’
Seandainya seorang suami mengatakan, “Jika engkau bebaskan diriku dari maskawinmu, aku akan menceraikanmu,” lalu istri membebaskannya dan si suami menceraikannya. Maka si suami terbebas dari maskawinnya, sedangkan si istri terceraikan, tetapi bukan dianggap sebagai istri yang minta khulu’.
Sumber: Kitab Fat-hul Mu’in karangan Zainuddin bin Abdul Aziz al Malibari al Fannani