Kafa’ah atau keseimbangan dalam pernikahan

Kafa’ah dapat menjadi bahan pertimbangan dalam nikah, tetapi bukan menyangkut keabsahannya, melainkan menyangkut hak mempelai wanita dan walinya; keduanya berhak menggugurkan pertimbangan ini.

Tiada yang seimbang dengan wanita merdeka sejak lahir, atau wanita yang dimerdekakan, dan tiada pula yang seimbang dengan orang yang tidak pernah mengalami perbudakan, atau orang tuanya atau kerabat terdekatnya, kecuali hanya yang sepadan dengannya dari kalangan masing-masing. Misalnya status mempelai laki-laki masih di bawah mempelai wanita dalam hal kafa’ah.

Akan tetapi, tiada pengaruh atas perbudakan yang pernah dialami oleh pihak ibu-ibu (mereka).

Lelaki fasik dan lelaki ahli bid’ah tidak dapat mengimbangi wanita yang saleh dan wanita yang bukan ahli bid’ah. Lelaki fasik hanya seimbang dengan wanita yang fasik, yakni ila derajat kefasikan keduanya sama.

Tidak dapat mengimbangi wanita yang bernasab Arab, Quraisy, Hasyim, atau Muththalib selain lelaki yang sederajat dengannya. Dengan kata lain, wanita yang berayahkan seorang Arab tidak dapat diimbangi oleh lelaki yang berayahkan selain Arab dari kalangan orang-orang ‘Ajam, sekalipun ibunya adalah orang Arab.

Tiada pula yang seimbang dengan wanita dari kabilah Quraisy selain lelaki dari kabilah Quraisy sendiri, bukan dari kalangan orang Arab lainnya. Tiada yang seimbang dengan wanita dari Bani Hasyim dan Bani Mththalib selain laki-laki dari kalangannya sendiri, bukan dari puak Quraisy lainnya.

Di dalam sebuah hadis disebutkan, “Kami (Bani Hasyim) dan Bani Muththalib adalah sesuatu yang menyatu (sederajat).” Berdasarkan hadis ini, maka kedua puak dari Quraisy itu sederajat perimbangannya.

Di dalam riwayat yang lain disebutkan bahwa Nabi saw pernah bersabda, “Kami dan Bani Muththalib seperti ini,” seraya menyatukan di antara jari jemarinya.

Dikecualikan dari pengertian Bani Muththalib yaitu Bani ‘Abdu Syams dan Bani Naufal. Maka kedua puak ini tidak sederajat dengan Bani Hasyim, sekalipun pada kenyataannya kedua puak ini termasuk anak-anak dari Abdu Manaf, sama halnya dengan Bani Hasyim dan Bani Muththalib. Akan tetapi, Nabi saw telah mengeluarkan mereka dari kalangan keluarganya, mengingat mereka banyak menyakiti Nabi saw dan mengganggunya.

Makna hadis, laki-laki dari salah satu di antara Bani Hasyim dan Bani Muththalib seimbang dengan wanita dari salah satunya.

Lelaki yang masuk islam dengan sendirinya tidaklah seimbang dengan wanita yang berayah atau berkeluarga islam yang jumlahnya lebih banyak. Sebagaimana tidak seimbang pula lelaki yang beribu bapak islam dengan wanita yang ketiga orang tuanya islam. Demikianlah keterangan yang dikemukakan oleh para ulama.

Akan tetapi, Al Qadhi Abuth Thayyib dan yang lainnya telah meriwayatkan sehubungan dengan masalah ini, bahwa kedua belah pihak di atas adalah satu derajat, yakni seimbang satu sama lainnya. Pendapat ini dipilih oleh Ar-Rauyani dan diperkuat oleh penulis kitab Al-‘Abbab.

Dan tidak seimbang dengan wanita yang tak berprofesi rendah lelaki dari kalangan lainnya. Yang dimaksud dengan profesi rendah ialah pekerjaan yang bila ditangani akan merendahkan harga diri pelakunya.

Untuk itu, lelaki yang orang tuanya berprofesi sebagai tukang hijamah (bekam) atau tukang sapu atau penggembala tidak seimbang dengan anak perempuan seorang penjahit. Lelaki penjahit tidaklah seimbang dengan anak perempuan seorang pedagang.

Yang dimaksud dengan pedagang ialah orang yang mendatangkan berbagai jenis barang untuk dijual (penyuplai barang-barang).

Sebagaimana tidak sesuai pula dia (tukang jahit) dengan anak perempuan seorang pedagang tekstil. Kedua orang yang terakhir ini, yakni lelaki yang berprofesi pedagang dan penjual barang tekstil, tidaklah seimbang dengan anak perempuan seorang alim atau kadi yang adil.

Ar-Rauyani telah mengatakan yang juga didukung oleh Al-Adzru’i, bahwa tidaklah seimbang antara wanita yang alim dengan lelaki yang bodoh (dalam masalah agama). pendapatnya itu berbeda dengan apa yang disebutkan di dalam kitab Ar-Raudhah.

Menurut pendapat yang paling sahih, kemudahan (kekayaan) bukan merupakan faktor yang dipertimbangkan dalam masalah kafa’ah ini, karena harta benda itu sesuatu yang akhirnya musnah dan tidak pantas dijadikan sebagai sarana untuk berbangga diri oleh orang-orang yang memegang harga diri dan orang-orang bijak.

Tidaklah seimbang seorang wanita yang keadaannya di waktu akad nikah terbebas dari segala cela (kekurangan) yang dapat menimbulkan khiyar bagi orang yang tidak mengetahuinya saat akad. Misalnya karena penyakit gila, sekalipun penyakit gilanya kambuh-kambuhan (terputus-putus) dan sekalipun gilanya tidak parah. Penyakit gila ialah suatu penyakit yang mengganggu saraf ingatan.

Juga karena penyakit lepra yang parah, yaitu penyakit yang pada awal mulanya ditandai dengan kulit anggota tubuh yang terserang tampak kemerah-merahan, lama kelamaan menjadi menghitam, kemudian anggota tersebut terputus. Dan juga karena penyakit barash (supak) yang parah, yaitu penyakit yang membuat kulit menjadi putih pucat tak berdarah; sekalipun kedua penyakit tersebut sedikit. pertanda keparahan pada penyakit pertama ialah anggota tubuh yang terserang tampak menghitam, sedangkan pada penyakit yang kedua ialah bila dicubit kulit tidak marah, melainkan tetap putih pucat.

Tidaklah seimbang seorang lelaki yang mempunyai cela (penyakit) tersebut dengan wanita yang sehat, karena seseorang jelas tidak akan mau hidup bersama dengan orang yang berpenyakit seperti itu. Sekalipun pihak mempelai wanita mempunyai penyakit yang sama, maka tetap dinilai tidak seimbang, tanpa memandang kesamaan tingkat penyakitnya, atau bahkan penyakit yang ada pada pihak wanita lebih buruk lagi.

Akan tetapi, bagi kekurangan yang tidak mengukuhkan adanya khiyar, maka hal ini tidak mempunyai pengaruh apa-apa, seperti tuna netra, tuna daksa, dan rupa yang buruk. Lain halnya dengan pendapat ulama yang terdahulu yang berbeda

 

Sumber: Kitab Fat-hul Mu’in karangan Zainuddin bin Abdul Aziz al Malibari al Fannani

Scroll to Top