Kalau kadi mengetahui wanita itu masih bersuami yang namanya telah dia kenal, atau dia tahu orangnya, atau wanita itu sendiri yang menunjukkannya, maka disyaratkan agar hakim sah menikahkan dia tanpa wali khusus apabila adanya bukti yang mengukuhkan bahwa suaminya telah menceraikannya, seperti telah ditalak atau suaminya telah meninggal dunia, baik si suami sedang tidak ada di tempat ataupun sedang di tempat.
Sesungguhnya para ulama membedakan antara suami yang telah diketahui dan suami yang belum diketahui, padahal pokok permasalahannya yang menyangkut ada atau tidaknya ikatan perkawinan telah diketahui oleh kadi, hingga dapat saja dia memutuskan berdasarkan hukum asal di antara dua keadaan tersebut. Demikian itu karena di saat kadi mengetahui si suami secara tertentu, yakni mengenai nama atau orangnya, maka ia dituntut untuk bersikap hati-hati dan mengamalkan kaidah asal, yaitu utuhnya ikatan perkawinan. Karena itu, maka disyaratkan baginya adanya pembuktian (yakni perceraian di antara keduanya).
Dan juga mengingat pihak istri telah menyebutkan nama suami tertentu, padahal dia sendiri yang menjalankannya, maka seakan-akan dia melancarkan tuduhan bahwa si suami telah menceraikannya. Bahkan para ulama berpendapat bahwa kasus tersebut sama halnya dengan melancarkan tuduhan terhadap si suami yang bersangkutan. Untuk memperkuat hal itu, pihak istri diharuskan mengemukakan pembuktiannya secara kongkret.
Lain halnya bila yang diketahui oleh si kadi hanya mutlaknya ikatan pernikahan tanpa mengetahui keadaan suami secara tertentu seperti dalam hipotesis sebelumnya. Maka dalam menanggapi kasus seperti ini kadi cukup mempercayai berita pihak si wanita yang menyatakan bahwa dirinya sudah terlepas dari semua hambatan yang mencegah adanya perkawinan baru baginya. Diputuskan demikian karena hal yang dijadikan pertimbangan dalam menanggapi masalah yang menyangkut akad (transaksi) ialah ucapan para pelakunya.
Tetapi jika dia sebagai wali khususnya, maka ia dapat mengawinkan si wanita yang melapor, jika dia mempercayai ucapannya sekalipun dia mengetahui suami pertamanya tanpa memerlukan pembuktian perceraian dan juga tanpa memakai sumpah segala. Hanya saja disunatkan baginya, seperti halnya kadi yang tidak mengetahui suaminya, yaitu meminta pembuktian yang menunjukkan hal tersebut dari pihak wanita.
Antara kadi dan wali dibedakan dalam kaitan adanya pemisahan antara suami yang telah diketahui dan suami yang belum diketahui. Dengan kata lain, satu pihak dibebani untuk mengetahui hal tersebut, sedangkan pihak lainnya tidak. Demikian itu karena kadi dituntut untuk bersikap lebih waspada daripada apa yang dilakukan oleh wali (mengingat kadi adalah orang lain, sedangkan wali khusus adalah keluarga yang bersangkutan).
Seorang kadi diperbolehkan mengawinkan seorang wanita yang mengatakan, “Aku terbebas dari ikatan nikah dan iddah” atau “Suamiku telah menceraikan diriku dan aku telah melakukan masa iddah.” Dengan syarat selagi kadi belum mengetahui secara jelas bahwa wanita itu masih bersuami.