Akad nikah bila disertai dengan shighat ta’liq (kebergantungan), hukumnya tidak sah. Perihalnya sama dengan masalah jual beli, bahkan dalam masalah nikah lebih diprioritaskan, mengingat dituntut agar lebih hati-hati dalam menanganinya.
Sebagai contoh ialah, pihak ayah mengatakan kepada calon mempelai laki-laki, “Jika anak perempuanku telah diceraikan atau telah selesai dari iddahnya, berarti aku telah menikahkan dia kepadamu.” Kemudian pihak calon mempelai laki-laki mengucapkan kabulnya. Sesudah itu ternyata calon mempelai wanita telah selesai dari masa iddah dan bersedia dikawini oleh calon mempelai laki-laki tersebut, maka hukumnya tidak sah karena rusaknya shighat akad nikah dengan adanya ta’liq (kebergantungan).
Salah seorang ulama mengadakan penelitian dan mengatakan sah memakai shighat ta’liq bila seseorang mengatakan, “Jika si Fulanah berada dalam perwalianku, berarti aku nikahkan kamu dengan dia.” Dianggap sah pula dalam kata-kata, “Aku nikahkan kamu, jika kamu suka,” seperti dalam masalah jual beli, karena pada hakikatnya tidak mengandung pengertian ta’liq.
Nikah tidak sah bila disertai dengan pembtasan waktu
Tidak sah akad nikah yang dibarengi dengan pembatasan waktu pertalian, baik batasan waktunya ditentukan atau tidak ditentukan. Nikah batal karena ada larangan dari hadis sahih yang mencegah nikah mut’ah, yaitu nikah yang dibatasi dengan waktu, sekalipun lamanya seribu tahun.
Sumber: Kitab Fat-hul Mu’in karangan Zainuddin bin Abdul Aziz al Malibari al Fannani