di dalam kitab At-Tuhfah disebutkan bahwa pada mulanya nikah mut’ah diperbolehkan sebagai rukhshah (dispensasi) buat orang yang terpaksa, kemudian diharamkan dalam satu tahun Perang Khaibar, tetapi diperbolehkan lagi dalam tahun kemenangan atas kota Mekah ebelum haji wada’, kemudian diharamkan untuk elamanya melalui nash yang jelas dan gamblang.
Di dalam kitab Al-Bujairimi disebutkan, dapat disimpulkan bahwa nikah mut’ah itu pada mulanya diperbolehkan, kemudian di-mansukh (direvisi) dalam perang Khaibar, lalu diperbolehkan lagi dalam hari kemenangan atas kota Mekah, kemudian di-mansukh dalam hari-hari kemenangan atas kota Mekah, dan keharamannya terus berlangsung hingga hari kiamat.
Dalil-dalil yang mengharamkan nikah mut’ah
Dalam masa generasi pertama islam masalah nikah mut’ah masih diperselisihkan, kemudian dihapuskan, dan mereka sepakat atas keharamannya. Sebagian sahabat ada yang mengatakan:
Aku pernah melihat Rasulullah saw berdiri di antara rukun danpintu (Ka’bah) seraya berkata, “Hai manusia, sesungguhnya di masa lalu aku pernah mengizinkan kalian melakukan istimta’ (nikah mut’ah). Ingatlah! Sesungguhnya sekarang Allah mengharamkannya hingga hari kiamat. Barang siapa yang di sisinya masih mempunyai sebagian waktu dari mereka (kaum wanita yang dinikah mut’ah), hendaklah ia melepaskannya, dan janganlah kalian mengambil kembali apa yang telah kalian berikan kepada mereka barang sedikit pun.”
Pernah terjadi perdebatan antara kadi Yahya ibnu Aktsam dan Amirul Mu’minin Al Ma’mun yang menyerukan boleh nikah mut’ah. Yahya ibnu Aktsam masuk menemuinya dengan roman muka yang berbeda karena masalah tersebut, dan ia langsung duduk di dekatnya. Lalu Al MA’mun bertanya kepadanya, “Mengapa kulihat engkau dalam keadaan berbeda?” Yahya menjawab, “Karena malapetaka yang menimpa islam.” Al Ma’mun bertanya, “Apakah yang terjadi sebenarnya?” Yahya menjawab, “Seruan menghalalkan zina.” Al Ma’mun bertanya, “Apakah mut’ah itu zina?” Yahya menjawab, “Ya.” Al Ma’mun bertanya, “Apa dasarmu mengatakan demikian?” Yahya ibnu Aktsam menjawab, “Dari Kitabullah dan sunnah Rasul-Nya.”
Dari Kitabullah, sesungguhnya Allah swt berfirman:
“Sesungguhnya telah beruntunglah orang-orang yang beriman.” (Al Mu’minun ayat 1)
Dan Al Mu’minun ayat 5-7, “Dan orang-orang yang menjaga kemaluannya, kecuali terhadap istri-istri mereka atau budak yang mereka miliki; maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada tercela. Barang siapa mencari yang di balik itu, maka mereka itulah orang-orang yang melampaui batas.”
“Wahai Amirul Mu-minin, apakah istri mut’ah itu milkul yamin?” Al Ma’mun menjawab, “Bukan.” Yahya bertanya lagi, “Apakah istri mut’ah itu adalah istri yang diakui oleh Allah dapat mewaris dan diwaris?” Al Ma’mun menjawab, “Bukan.” Yahya berkata, “Orang yang melampaui kedua hal itu termasuk orang yang melampaui batas.”
Sedangkan dalil dari sunnah, Az-Zuhri telah meriwayatkan berikut sanadnya dari Ali ibnu Abu Thalib r.a. bahwa ia pernah menceritakan:
Rasulullah saw telah memerintahkan kepadaku agar aku menyerukan larangan melakukan nikah mut’ah dan mengharamkannya sesudah beliau memerintahkannya di masa lalu.
Al Ma’mun berpaling kepada para hadirin, lalu bertanya, “Apakah kalian hafal hadis itu dari Az-Zuhri?” mereka menjawab, “Ya.” Al Ma’mun menjawab, “Astaghfirullah, serukanlah oleh kalian bahwa mut’ah diharamkan.”
Sumber: Kitab Fat-hul Mu’in karangan Zainuddin bin Abdul Aziz al Malibari al Fannani