Orang-orang yang mendapat ‘ashabah ialah anak laki-laki, lalu anak lelaki dari anak laki-laki hingga terus ke bawah. Kemudian ayah dan kakek hingga terus ke atas, lalu saudara laki-laki seibu seayah dan saudara laki-laki seayah, begitu pula anak keduanya. Lalu paman yang seibu seayah dan paman yang seayah, begitu pula anak keduanya. Kemudian paman ayah dan anak-anaknya, lalu paman kakek dan anak-anaknya, demikianlah seterusnya.
Ashabah karena hak wala
Setelah ‘ashabah karena nasab menyusul ‘ashabah karena hak wala, yaitu orang yang memerdekakan, baik laki-laki ataupun perempuan. Setelah orang yang memerdekakan menyusul para ‘ashabah laki-lakinya, sedangkan yang perempuannya tidak berhak mewaris. Dalam hal ini kedudukan kakek diakhirkan daripada saudara laki-laki dan anak laki-lakinya.
Sesudah itu baru orang yang berjasa kepada orang yang memerdekakannya karena dia telah memerdekakannya, kemudian para ‘ashabah-nya.
Membagi harta berdasarkan bagian seorang lelaki
Seandainya berkumpul anak-anak lelaki dan anak-anak perempuan atau saudara-saudara lelaki dan saudara-saudara perempuan, maka harta peninggalan yang dibagikan kepada mereka berdasarkan ketentuan bagian seorang lelaki sama dengan bagian dua orang perempuan.
Ahli waris laki-laki memperoleh keutamaan tersebut (yakni mendapat bagian sebanyak bagian dua orang perempuan) karena lelaki mempunyai keistimewaan tersendiri, yaitu berkewajiban melakukan hal-hal yang tidak wajib bagi wanita, misalnya jihad dan lain-lainnya.
Anak lelaki dari anak laki-laki sama dengan anak laki-laki dan saudara laki-laki seayah, sama dengan saudara laki-laki seibu seayah dalam kaitannya dengan hal yang telah disebutkan di atas (yakni bila bertemu dengan saudara perempuan, masing-masing memperoleh bagian semisal bagian dua orang saudara perempuan).
Sumber: Kitab Fat-hul Mu’in karangan Zainuddin bin Abdul Aziz al Malibari al Fannani