Bolehkah Wasiat Dicabut Kembali

Wasiat yang dikaitkan dengan kematian sama halnya dengan derma yang dikaitkan dengan kematian. Baik hal tersebut dilakukan ketika orang yang bersangkutan dalam keadaan sehat ataupun sakit, dia boleh mencabutnya kembali; sama halnya dengan masalah hibah sebelum dilakukan penyerahan, bahkan dalam masalah wasiat lebih diperbolehkan. Karena itu, seseorang tidak boleh mencabut kembali derma yang dilakukannya secara kontan sewaktu dia dalam keadaan sakit, sekalipun dermanya itu dimasukkan ke dalam hitungan sepertiga hartanya. Wasiat dapat dibatalkan bila dicabut kembali melalui ucapan seperti, “Aku batalkan wasiatku,” atau “Wasiatku tidak jadi,” atau “Aku cabut kembali wasiatku,” atau “Aku hilangkan wasiatku.”

Menurut pendapat yang beralasan kuat, sah menggantungkan pencabutan dalam salah satu syaratnya. Mengingat menggantungkan wasiat dengan sesuatu merupakan hal yang diperbolehkan, terlebih lagi jika mencabut wasiat itu sendiri (yakni lebih diperbolehkan).

Pencabutan wasiat

Pencabutan kembali wasiat dapat dilakukan dengan ucapan seperti, “Ini buat ahli warisku,” atau “Ini adalah barang warisan dariku,” baik orang yang bersangkutan lupa terhadap wasiatnya ataupun masih ingat (pencabutan tetap berlaku).

Seandainya seseorang berwasiat sepertiga dari hartanya (kecuali kitab-kitab miliknya) buat orang lain, kemudian setelah beberapa waktu dia mewasiatkan kembali sepertiga dari harta tanpa pengecualian, yang manakah yang berlaku, wasiat yang pertama atau yang kedua?

Menurut lahiriahnya ialah mengamalkan wasiat yang pertama, sebab di dalamnya terkandung teks yang mengecualikan kitab-kitab milik orang yang bersangkutan. Sedangkan wasiat yang kedua dapat diinterpretasikan bahwa dia memang tidak menyebutkan pengecualian karena hal tersebut sudah dijelaskan dalam wasiat yang pertama tadi, dan dia sengaja tidak menyebutkannya dalam wasiat yang kedua dengan maksud membatalkan. Tetapi teks (nash) lebih diutamakan pengamalannya daripada interpretasi.

Pencabutan wasiat dapat pula dilakukan dengan cara menjual dan menggadaikan barang yang diwasiatkan, sekalipun tanpa kabul. Dapat pula dilakukan dengan cara menawarkannya serta mewakilkannya buat dijual atau digadaikan. Pencabutan dapat pula dilakukan dengan cara menanami lahan yang diwasiatkan dengan tanaman yang bersifat permanen, lain halnya bila ditanami dengan tanaman yang bersifat sementara.

Seandainya orang yang berwasiat itu menanami tanaman permanen pada sebagian tanah yang diwasiatkannya, maka yang dicabut dari pewasiatan hanyalah bagian lahan yang tidak ditanami tanaman permanen itu saja, sedangkan yang lainnya tidak.

Bukan termasuk pencabutan wasiat bila karena suatu maksud orang yang bersangkutan mengingkari wasiatnya.

Seandainya seseorang mewasiatkan sesuatu kepada Zaid, kemudian dia mewasiatkan hal itu buat Amr, hal ini bukan dinamakan perevisian wasiat, melainkan wasiat dibagi dua di antara keduanya. Seandainya orang yang bersangkutan mewasiatkannya lagi kepada orang yang ketiga, maka dibagi tiga di antara mereka. Demikianlah seterusnya, menurut Syeikh Zakariya di dalam syarah minhaj.

Seandainya seseorang berwasiat buat Zaid sebanyak seratus, kemudian berwasiat lagi sebanyak 50, maka yang diberikan kepada Zaid hanyalah 50, mengingat wasiat yang kedua mengandung makna perevisian mengenai sebagiannya. Demikian menurut pendapat Imam Nawawi.

 

Sumber: Kitab Fat-hul Mu’in karangan Zainuddin bin Abdul Aziz al Malibari al Fannani

Scroll to Top