Tanah wakaf yang diikutkan kepada masjid karena letaknya berdekatan di sekitarnya, bila masjid memerlukan perluasan, masih belum dapat memperoleh status hukum masjid, dalam kaitannya dengan sah melakukan itikaf padanya dan haram tinggal padanya bagi orang yang berjinabah. Demikianlah yang difatwakan oleh Ibnu Ziyad dan yang lainnya.
Wakaf tidak sah kecuali dengan memakai lafaz, dan dalam masalah wakaf ini tidak boleh dilakukan hal-hal yang bertentangan dengan mu’athah.
Izin yang tidak mengubah status pemiliknya
Seandainya seseorang membangun sebuah bangunan berbentuk seperti masjid, lalu dia mengizinkan mendirikan salat pada bangunan tersebut, maka izin tersebut tidak menjadikannya sebagai masjid, dan bangunan itu masih tetap miliknya. Perihalnya sama saja seandainya dia menjadikan sebuah tanah mirip dengan kuburan, kemudian ia mengizinkannya sebagai tempat kuburan.
Lain halnya jika dia mengizinkan bangunannya yang mirip masjid itu dipakai untuk itikaf. Dengan cara demikian tempat tersebut menjadi masjid.
Al-Baghawi di dalam kitab Fatawi-nya mengatakan bahwa seandainya seseorang berkata kepada pembangun masjid, “Buatlah bata merah dari tanahku untuk masjid,” lalu orang yang disuruh tersebut melakukannya dan menggunakannya untuk bangunan masjid, maka bata merah tersebut sama kedudukannya dengan milik masjid. Dengan kata lain dia tidak boleh merusaknya, tetapi boleh memintanya kembali sebelum bata merah digunakan untuk bangunan masjid.
Al-Bulqini menganalogikan masalah masjid dalam ketentuan tersebut dengan sumur yang digali untuk keperluan ibnu sabil. Sedangkan Al Asnawi menyamakannya dengan masalah madrasah dan tempat penambatan ternak atau kuda.
Syeikh Abu Muhammad mengatakan, “Demikian pula seandainya seseorang mengambil sebidang tanah dari orang lain untuk dibangunkan sebuah pesantren atau tempat penambatan kuda di atasnya. Maka tempat tersebut menjadi demikian begitu selesai dibangun.” Tetapi sebagian ulama mendhaifkan pendapat ini.
Mewakafkan lembu betina di tempat penambatan kuda
Dianggap sah mewakafkan lembu betina di tempat penambatan kuda, dengan maksud agar orang-orang yang datang ke tempat itu dapat meminum air susunya; atau keturunannya dijual untuk kemaslahatan (pemeliharaan) tempat tersebut.
Sumber: Kitab Fat-hul Mu’in karangan Zainuddin bin Abdul Aziz al Malibari al Fannani