Sah mewakafkan suatu barang yang dimiliki dengan secara sah dapat dipindahmilikkan serta dapat diambil manfaatnya, baik seketika ataupun di masa mendatang, misalnya buah-buahan atau suatu manfaat (jasa) yang kebanyakan dapat disewakan, sedangkan barangnya masih tetap utuh. Dikatakan barangnya masih tetap utuh karena wakaf disyariatkan sebagai sedekah yang pahalanya mengalir terus.
Sebagai contoh ialah mewakafkan pohon untuk diambil buahnya, perhiasan untuk dipakaikan, dan minyak kesturi untuk keharuman baunya serta mewakafkan wewangian yang bersifat tanaman (untuk keharuman baunya).
Lain halnya apabila mewakafkan getah dupa, sebab dupa tidak dapat diambil manfaatnya kecuali bila dipakai habis (dibakar). Lain pula jika mewakafkan makanan, karena makanan hanya bermanfaat bila dikonsumsi.
Ibnu Shalah menduga bahwa sah mewakafkan air, menurut pendapat yang dipilihnya.
Mewakafkan barang yang digasab
Sah mewakafkan barang yang digasab, sekalipun pemilik barang tidak mampu membebaskan barangnya itu. Sah pula mewakafkan bagian atas dari sebuah masjid tanpa bagian bawahnya.
Mewakafkan sebagian tanah milik bersama
Menurut pendapat yang beralasan kuat, sah mewakafkan sebagian tanah milik bersama, sekalipun bagian itu kecil nilainya, buat keperluan masjid. Orang yang mempunyai jinabah haram diam di bagian tersebut karena memprioritaskan larangan, dan tidak boleh dilakukan itikaf dan salat di bagian tersebut kecuali seizin pemilik manfaat.
Sumber: Kitab Fat-hul Mu’in karangan Zainuddin bin Abdul Aziz al Malibari al Fannani