Wakaf menurut bahasa artinya “menahan”, sedangkan menurut syara’ artinya ‘menahan sejumlah harta yang dapat dimanfaatkan, sedangkan barangnya masih tetap utuh”, yaitu dengan cara menghentikan penggunaannya secara pribadi, lalu hasilnya dimanfaatkan untuk keperluan yang diperbolehkan dan terarah.
Dalil pokok mengenai masalah wakaf adalah berdasarkan hadis riwayat Imam Muslim yang mengatakan: “Jika seorang muslim meninggal dunia, terputuslah amal perbuatannya kecuali tiga hal, yaitu sedekah jariyah, (yang pahalanya mengalir), atau ilmu yang bermanfaat, atau anak yang soleh (muslim) yang mendoakannya.”
Para ulama menakwilkan makna sedekah jariyah sebagai wakaf, bukan hal seperti wasiat pemanfaatan yang diperbolehkan.
Dalam mewakafkan boleh mensyaratkan beberapa hal
Khalifah Umar r.a. pernah mewakafkan sebidang tanah yang diperolehnya dari tanah Khaibar atas perintah Nabi saw. Dalam wakafnya itu dia mensyaratkan beberapa hal, antara lain: pokok pohonnya tidak boleh dijual, tidak boleh diwariskan, dan tidak boleh dihibahkan, sedangkan orang yang mengurusnya diperbolehkan memakan sebagian dari hasilnya dengan cara yang makruf dan boleh pula memberi makan temannya, tetapi tidak boleh membekalinya.
Atsar ini diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim. Khalifah Umar adalah orang yang mula-mula melakukan wakaf dalam islam.
Abu Yusuf menyebutkan, ketika ia mendengar atsar Khalifah Umar yang menyatakan bahwa pokoknya tidak boleh dijual, maka ia meninggalkan pendapat Imam Abu Hanifah (imam panutannya) yang mengatakan boleh menjual barang wakaf. Dia (Abu Yusuf) mengatakan, “Seandainya Abu Hanifah mendengar atsar ini, niscaya dia akan mengatakan hal yang sama.”
Sumber: Kitab Fat-hul Mu’in karangan Zainuddin bin Abdul Aziz al Malibari al Fannani