Ijarah menurut bahasa merupakan isim (nama) bagi sewaan, sedangkan menurut syara’ ialah memiliki suatu manfaat (jasa) dengan imbalan (pembayaran) berdasarkan persyaratan yang akan diterangkan di bawah ini.
Syarat-syarat transaksi sewa
Transaksi sewa dinyatakan sah dengan memakai ijab, seperti: “Aku sewakan ini kepadamu atau aku kontrakkan ini kepadamu atau aku berikan manfaat (jasa) ini kepadamu selama satu tahun dengan imbalan pembayaran sejumlah sekian.”
Sah pula dengan kabul seperti lafaz, “Aku sewa atau aku kontrak atau aku terima sewanya.”
Menurut Imam Nawawi di dalam Syarah Muhadzdzab mengatakan, “Sesungguhnya ketentuan yang berbeda dengan mu’athah (jual beli secara saling memberi tanpa ijab dan kabul) berlaku pada transaksi sewa menyewa, transaksi gadai, dan hibah.”
Sesungguhnya transaksi sewa menyewa atau ijarah dinyatakan sah hanya dengan memakai imbalan yang sah dijadikan sebagai alat pembayaran dan telah dimaklumi jumlah, jenis, dan sifat (spesifikasi)nya oleh kedua belah pihak yang terlibat dalam transaksi tersebut jika dilakukan secara utang dalam tanggungan. Tetapi jika transaksi dilakukan bukan dengan cara utang (yaitu kontan), sudah cukup dengan melihat barang dalam penyewaan barang yang bersifat kontan, atau penyewaan barang yang masih dalam tanggungan pihak yang menyewakan.
Imbalan yang tidak mengesahkan barang sewaan
Tidak sah menyewakan rumah atau hewan kendaraan dengan imbalan pembangunan dan pemeliharaannya. Tidak sah pula sewa menguliti kambing dengan upah kulitnya yang telah disayat atau sewa menggiling gandum dengan upah terigunya.
Menyewa jasa yang dapat ditaksir nilainya
Dianggap sah menyewa suatu manfaat (jasa) yang dapat ditaksir nilainya, yakni mempunyai harga standar, telah dimaklumi barangnya, jumlah dan sifat (spesifikasi)nya, dan manfaatnya berkaitan langsung dengan penyewa, tetapi tujuannya tidak mengandung makna memiliki barang tersebut, yakni dalam akad tidak terkandung hal tersebut.
Dikecualikan dari pengertian “sesuatu yang dapat ditaksir harganya” yaitu sesuatu yang tidak dapat ditaksir harganya. Untuk itu, tidak sah menyewa seorang calo hanya untuk mengatakan sekadar satu atau beberapa kalimat yang mudah, menurut pendapat yang kuat alasannya, sekalipun berupa ‘ijab dan kabul serta barang dagangannya laris, mengingat menyewa jasa seperti itu tidak ada nilai dan harganya.
Oleh karena itu, hukum tidak sah terhadap masalah yang disebutkan di atas hanya khusus menyangkut barang jualan yang mempunyai standar harga tetap di negeri yang bersangkutan, misalnya roti.
Lain halnya dengan budak dan pakaian, misalnya, yang berubah-ubah harganya sesuai dengan perbedaan para peminat yang akan membelinya.
Maka penjualannya secara khusus melalui calo akan lebih bermanfaat, hingga dianggap sah menyewa jasa calo untuk menjualkannya.
Manakala menyewa jasa seorang calo (untuk menjualkan barang yang tidak mempunyai harga standar) tidak sah, maka jika calo yang bersangkutan cukup mengeluarkan jerih payah karena banyak bicara atau sering mondar-mandir, dia berhak menerima upah yang pantas. Tetapi jika tidak demikian keadaannya, dia sama sekali tidak berhak memperoleh upah.
Sumber: Kitab Fat-hul Mu’in karangan Zainuddin bin Abdul Aziz al Malibari al Fannani