Iqradh atau memberi utang dinyatakan sah dengan adanya kabul yang berhubungan langsung dengan ijab, seperti ucapan, “Aku beri dia utang,” lalu dijawab langsung, “aku terima utangnya.”
Qiradh secara hukmi tidak memerlukan ijab dan kabul
Dibenarkan qiradh secara hukmi tidak memerlukan adanya ijab dan kabul seperti ketentuan di atas, misalnya memberi nafkah kepada anak yang ditemukan dalam keadaan memerlukan bantuan, memberi makan orang yang kelaparan, dan memberi pakaian orang yang tidak berpakaian (telanjang).
Termasuk ke dalam pengertian qiradh hukmi yaitu memerintahkan orang lain agar memberikan sesuatu untuk tujuan si penyuruh sendiri (menalangi), mislanya memberi penyair, orang zalim, memberi makan orang miskin, atau menebus tawanan, dan juga kata-kata, “Renovasilah rumahku.”
Segolongan ulama mengatakan, dalam qiradh tidak disyaratkan adanya ijab dan kabul. Pendapat ini dipilih oleh Al-Adzru’i. Dia mengatakan bahwa qias boleh melakukan jual beli secara mu’athah (saling memberi tanpa ijab dan kabul), dalam masalah jual beli diperbolehkan pula melakukan mu’athah dalam masalah qiradh.
Orang yang boleh memberikan qiradh
Sesungguhnya orang yang boleh memberikan qiradh itu hanyalah orang yang secara sukarela berhak mengelola apa yang dipesankan kepadanya, baik berupa ternak ataupun lainnya, sekalipun barang pesanan tersebut berupa uang yang tidak murni (yakni emas dan perak yang bukan mata uang resmi).
Boleh mengutangkan roti dan adonannya serta peragi asamnya, tetapi tidak boleh mengutangkan ragi yang telah diproses menjadi yoghurt, menurut pendapat yang kuat alasannya. Yang dimaksud ialah ragi yang dicampur dengan susu agar susu menjadi yoghurt. Dikatakan demikian karena kadar masamnya berbeda-beda (hingga sulit pengembaliannya dengan barang yang sama).
Seandainya seseorang mengatakan, “Hutangilah aku sebanyak sepuluh dinar,” lalu orang yang diminta itu mengatakan, “Ambillah sejumlah itu dari si fulan.” Jika jmlah itu telah berada di tangan si fulan (ebagai wakilnya), maka diperbolehkan mengambilnya dari si fulan secara langsung (tanpa pembaruan transaksi utang). Tetapi jika keadaannya tidak demikian, berarti dia adalah sebagai wakil untk menagih. Untuk itu, diharuskan adanya pembaruan akad qiradh.
Seorang wali dilarang memberikan utang (kepada orang lain) dari harta orang yang berada dalam ampunannya tanpa keadaan darurat.
Tetapi pihak kadi dibenarkan (boleh) mengutangkan harta orang yang berada dalam pengampunannya, sekalipun tanpa keadaan darurat mengingat kesibukan kadi cukup banyak, tetapi dengan syarat “jika orang yang meminta utang adalah orang terpercaya dan keadaannya cukup mampu (untuk membayar utangnya).
Orang yang berutang dapat memiliki begitu ia menerima barang dengan seizin pemberi utang, sekalipun dia belum menggunakannya; perihalnya sama dengan barang yang dihibahkan.