Syarat jumat itu fardu ‘ain bila semua syarat-syaratnya terkumpul. Sebagaimana firman Allah swt dalam surat al Jumu’ah ayat 9, “Hai orang-orang yang beriman, apabila diserukan untuk menunaikan salat pada hari jumat, maka bergegaslah kamu untuk mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli.”
Nabi Muhammad saw bersabda, “Salat jumat itu wajib dilaksanakan dengan berjamaah bagi setiap orang muslim, kecuali 4 macam orang, yaitu hamba yang dimiliki, wanita, anak-anak, dan orang sakit.” (Riwayat Bukhari, Abu Daud)
salat jumat mulai diwajibkan di Mekah (pada malam isra’ pula); hanya di Mekah belum dilaksanakan, karena belum mencukupi perhitungan (belum lengkap 40 orang) atau mendirikan salat jumat untuk syiar, sedangkan Nabi saw salat di Mekah masih secara sembunyi-sembunyi.
Orang pertama yang mendirikan salat jumat di Madinah sebelum hijrah ialah sahabat As’ad bin Zarrah, pada suatu kampung (namanya Naqi’ul Khadmat), jaraknya satu mil dari Madinah. Salat jumat itu merupakan salat yana paling afdhala.
Disebut salat jumat karena manusia berkumpul untuk melaksanakannya atau karena Nabi Adam dan Siti Hawa berkumpul pada hari jumat di Muzdalifah. Oleh karena itu, disebut “kumpul”.
Salat jumat diwajibkan bagi semua orang mukallaf, yakni yang balig, berakal, dan laki-laki merdeka (dengan syarat) bertempat tinggal di tempat didirikannya salat jumat, tidaksuka berpindah tempat pada musim hujan atau kemarau kecuali untuk memenuhi kebutuhannya, misalnya berdagang dan ziarah (sebagaimana Nabi saw dan penduduk Mekah ketika berada di Arafah tidak salat jumat). Tidak wajib salat jumat bagi wanita, banci, dan hamba sahaya, walaupun hamba mukatab, sebab derajatnya kurang.
Kemudian, semua orang mukallaf tersebut keadaannya tidak mempunyai udzur, misalnya sakit yang menjadi udzur. Tidka wajib salat jumat bagi seseorang yang sakit kalau ia tidak hadir (datang) sesudah matahari tergelincir di tempat didirikan salat jumat. Sah salat jumat dengan dihadiri oleh orang yang berudzur jumat.
Wajib salat jumat bagi orang yang bermukim di tempat didirikan jumat yang bukan mustauthin (menetap di sana), misalnya seseorang yang bermukim di tempat salat jumat selama empat hari atau lebih dan ia berniat akan kembali ke tempat tinggal asalnya, walaupun bermukimnya sudah lama sekali. Dengan demikian dia tidak termasuk mustauthin (penduduk asli, kecuali orang yang memang pindah ke tempat itu).
Bag orang yang bermukim mustauthin, dan di tempat tersebut terdengar seruan jumat, sementara penduduk kampungnya tidak mencapai 40 orang, maka yang tidak mustauthin maupun yang mustauthin wajib menghadiri jumat itu. (apabila di kampungnya ada 40 orang, wajib bagi mereka mendirikan jumat sendiri).
Sabda Nabi saw, “Salat jumat itu diwajibkan bagi orang yang mendengar seruan.” (Riwayat Abu Daud)
Akan tetapi tidak sah salat jumat dengan yang tidak mustauthin dan mustauthin yang berada di luar daerah tempat jumat itu (bila yang hadir dari penduduk yang mustauthin, kurang dari 40 orang), meskipun salat jumat itu tetap wajib bagi mustauthin tersebut bila mendengar serua jumat di tempat diselenggarakannya.
Tidak sah salat jumat (yang kurang dari 40 orang) dengan dilengkapi (menjadi 40 orang) oleh anak-anak dan hamba sahaya, tetapi salat mereka itu sah. Hanya, seyogyanya takbiratul ihram mereka (mustauthin di luar tempat jumat, hamba sahaya, dan anak-anak) diakhirkan (menunggu, setelah) takbiratul ihram 40 orang yang menjadi syarat sah didirikan jumat. Hal ini menurut persyaratan para ulama ahli tahqiq.
Sumber: Kitab Fat-hul Mu’in karangan Zainuddin bin Abdul Aziz al Malibari al Fannani