Berwudhu itu adalah untuk menghilangkan hadas kecil. Lafadz wudu dengan dhammah wawu artinya “menyiramkan air pada anggota tubuh tertentu yang dimulai dengan niat”, sedangkan dengan fathah wawu artinya “air yang digunakan untuk berwudhu”. Pertama kali wudhu diwajibkan adalah sama dengan awal shalat fardu diwajibkan, yaitu pada malam Isra Nabi Muhammad saw.
Syarat wudhu itu ada lima, yaitu:
Syarat wudhu yang pertama adalah dengan air mutlak. Tidak ada yang dapat menghilangkan hadas, najis, serta tidak pula menyucikan walaupun sunat, kecuali dengan air mutlak. Air mutlak adalah air yang disebut tanpa qayid (ikatan) apa-apa. (Air yang berqayid, misalnya air kelapa, air tebu, dan sebagainya. Air-air tersebut tidak dapat disebut air saja tanpa qayid. Intinya, air itu tidak bisa dipakai untuk bersuci).
Syarat yang kedua ialah menyiramkan air ke anggota wudu yang hendak dibasuh. Tidak cukup hanya dengan mengusapkan air tanpa menyiramkannya, sebab hal itu tidak dapat dikatakan membasuh.
Syarat yang ketiga adalah pada anggota wudhu tidak terdapat sesuatu yang dapat mengubah air dengan perubahan yang merusakkan, misalnya ja’faran dan kayu cendana.
Syarat yang keempat adalah tiada penghalang diantara anggota tubuh yang dibasuh, misalnya kapur, lilin, minyak oles yang membeku, noda tinta atau pacar (cat, aspal, dll). Lain halnya dengan minyak oles yang cair, jika dibandingkan dengan bekas tinta atau pacar, meskipun air tidak terserap diatasnya (maka sah wudunya).
Demikian juga disyaratkan menurut pendapat orang banyak, jangan ada kotoran di bawah kuku yang menghalangi air untuk masuk ke dalamnya.
Berbeda dengan paham banyak ulama, diantaranya adalah Imam Ghazali, Imam Zarkasyi, dan lainnya. Mereka menguatkan pendapat dengan memberikan kelonggaran bahwa boleh ada kotoran di bawah kuku, asal bukan jenis adonan. Mereka berdalil bahwa Nabi Muhammad saw pernah memerintahkan memotong kuku dan membuang kotoran di dalamnya, tetapi tidak menyuruh mengulangi shalat.
Imam Adzra’i dan lainnya mengisyaratkan bahwa pendapat itu dhaif. Beliau menjelaskan bahwa tidak diperkenankan adanya sesuatu di dalam kuku seandainya menghalangi air masuk ke tempat itu.
Imam Baghawi telah berfatwa mengenai kotoran dari debu yang melekat, hal itu mencegah sahnya wudu. Berbeda dengan sesuatu yang keluar dari badan sendiri, misalnya biang keringat (maka tidak apa-apa).
Syarat wudu yang kelima adalah tiba waktu shalat bagi orang yang selalu berhadas, misalnya beser dan pendarahan bagi wanita (mustahadhah).
Disyaratkan lagi kepadanya, yaitu harus memperkirakan tiba waktunya. Jangan berwudu, misalnya orang yang bertayamum untuk shalat fardu atau shalat sunat yang tertentu waktunya, sebelum tiba waktu mengerjakannya.
Shalat jenazah (dilakukan) sebelum (jenazah) dimandikan, shalat tahiyyatul masjid sebelum masuk ke mesjid, dan shalat rawatib akhir (ba’diyah) sebelum mengerjakan shalat fardu.
Bagi khatib yang sering berhadas, wajib melakukan 2 wudu atau 2 kali tayamum. satu diantaranya untuk 2 khotbah dan 1 lagi untuk sesudah khotbah kedua shalat jumat. Bagi yang tidak sering berhadas, cukup 1 kali wudu, untuk khotbah jumat.
Bagi yang sering berhadas, wajib berwudu untuk setiap fardu, seperti halnya tayamum. (wanita yang istihadhah) wajib membersihkan farji dan mengganti kapas pembalut yang ada di sekitar vagina walaupun tidak bergeser dari tempatnya.
Orang yang beser wajib menyegerakan mengerjakan shalat. Seandainya ia mengakhirkan karena kemaslahatan shalat, misalnya menunggu berjamaah atau shalat jumat walaupun akhir dari awal waktu, atau pergi ke mesjid, semua itu tidak menjadi masalah.