“Hai orang-orang beriman, sesungguhnya di antara istri-istrimu dan anak-anakmu ada yang menjadi musuh bagimu maka berhati-hatilah kamu terhadap mereka dan jika kamu memaafkan dan tidak memarahi serta mengampuni (mereka), maka sungguh Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Sesungguhnya hartamu dan anak-anakmu hanyalah cobaan (bagimu), dan di sisi Allah pahala yang besar.” (At-Taghabun [64]: 14-15)
Ayat ini turun berkenaan dengan seorang penduduk Madinah bernama Auf bin Malik al-Asyja’i yang memiliki seorang istri dan anak. Disebutkan, acap kali ia hendak turut berperang bersama kaum Muslim, maka istri dan anak-anaknya “sepakat” menangis seraya meratap, “Hendak kemana kamu meninggalkan kami?” Karena tak tahan melihat kesedihan dan ratapan keluarganya, akhirnya Auf urung berangkat berjihad bersama kaum Muslimin lainnya. Lalu turunlah ayat ini mengingkari perbuatan tersebut.
Dalam riwayat yang lain, mufassir ternama Ibnu Abbas pernah ditanya tentang ayat ini, ia lalu menjawab: “Ayat ini turun kepada orang-orang yang telah memeluk agama Islam dan sangat ingin berhijrah, namun tidak pernah mendapat dukungan dari istri-istri dan anak-anak mereka. Hingga suatu saat mereka berkesempatan hijrah ke kota Madinah. Selain melepas rindu dengan Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam rupanya di Madinah mereka juga mendapati para Sahabat mereka kini telah berubah menjadi para fuqaha (ahli dalam bidang fikih).”
Alhasil, orang-orang tersebut lalu sangat geram kepada keluarga mereka. Menganggap diri mereka telah tertinggal dari berbagai kebaikan akibat terhalang oleh perilaku istri dan anak-anak mereka sendiri. Hingga selanjutnya turunlah potongan ayat berikutnya “…Dan jika kamu memaafkan dan tidak memarahi serta mengampuni (mereka), maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
Suami, istri, dan anak adalah bagian tak terpisahkan dalam sebuah keluarga. Seperti itulah garis fitrah bagi kehidupan manusia. Pada masing-masing mereka, cinta dan kasih sayang itu lalu tercurah dalam bingkai indah bernama pernikahan. Sebuah ikatan suci yang mampu mempertautkan hati-hati mereka. Namun, di sinilah letak kejelian dan kasih sayang Allah dengan segala keluasan ilmu-Nya. Sejak awal, Allah menyalakan sinyal peringatan dini kepada hamba-Nya untuk berhati-hati dalam urusan tersebut.
Meski berbalut hubbun halal (cinta yang halal), namun potensi yang terkandung pada dorongan syahwat bisa saja lepas kendali. Layaknya seekor kuda yang lepas dari tali kekangnya, hewan tunggangan yang semula jinak dan bersahabat tadi tiba-tiba berubah menjadi liar dan memusuhi tuannya sendiri. Alhasil, semangat yang terbangun dalam keluarga bukan lagi spirit kebersamaan dalam kebaikan dan ketaatan. Namun, ia berubah menjadi sarana berbuat keburukan atau saling menutupi ketika ada bibit kebaikan yang ingin bersemai dalam keluarga tersebut.
Senada hal di atas, al-Qadhi Abu Bakar bin al-Arabi berkata, “Permusuhan yang terjadi di sini bukanlah secara hukum asal karena istri dan anak itu pada hakikatnya adalah karunia dari Allah. Namun, mereka bisa berubah menjadi musuh atau lawan karena adanya perbuatan tertentu yang dilakukan oleh mereka. Padahal, tiadalah perbuatan paling buruk dan dimusuhi oleh Allah, kecuali yang berusaha memalingkan kecintaan seorang hamba kepada Tuhannya.”
Untuk itu, al-Hasan al-Bashri menyatakan, “Kata min azwajikum bermakna sebagian saja (li at-tab’idh). Sebab, hukum asal suatu pernikahan dalam Islam adalah sunnah. Sebagai sarana dan alat peraga efektif untuk saling menguatkan dalam hal kebaikan dan ketaatan di antara sesama mereka.”
Imam Ibnu Katsir lalu mengutip sebuah Hadits yang diceritakan oleh Abu Malik al-Asy’ari. Nabi SAW bersabda, ”Bukanlah permusuhan ini yang jika kalian membunuhnya maka kalian lalu merasa mendapatkan kemenangan. Sebagaimana kalian tak juga dapat jaminan masuk surga, jika kalian terbunuh dan dikalahkan dalam permusuhan ini. Sebab, boleh jadi musuh-musuhmu tak lain adalah anak keturunan yang lahir dari rahim tulang rusukmu sendiri.” (Riwayat ath-Thabrani).
Di akhir pemaparannya, Imam al-Qurthubi menyimpulkan, ayat ini mencakup perintah berhati-hati secara umum, baik kepada laki-laki sebagai suami maupun perempuan sebagai istri. Meskipun secara tersurat lebih ditujukan kepada laki-laki sebagai nakhoda utama dalam sebuah keluarga. Namun dalam tataran realitas, tak ada jaminan jika titik permasalahan itu selalu bersumber dari istri dan anak. Sebab, boleh jadi noda permusuhan itu justru bertolak dari sang suami itu sendiri sebagai seorang kepala keluarga.
Rasulullah SAW mengakui hal tersebut sebagaimana dikisahkan oleh Abu Buraidah. Suatu ketika Nabi SAW sedang khutbah di hadapan para Sahabat. Tiba-tiba kedua cucunya al-Hasan dan al-Husain melintas di depan mimbar. Masing-masing memakai baju merah sambil berjalan tertatih-tatih (layaknya anak kecil yang belajar berjalan). Menyaksikan hal itu, Nabi SAW segera turun menggendong keduanya. Nabi SAW lalu berkata seraya tetap memangku keduanya, “Sungguh benar (perkataan) Allah dan rasul-Nya, sesungguhnya harta-harta kalian dan anak-anak kalian adalah fitnah. Saya melihat kedua anak ini berjalan sambil tertatih-tatih dan saya tak bisa bersabar menyaksikannya. Hingga akhirnya saya sendiri yang memotong pembicaraan saya lalu meraih kedua anak itu.” (Riwayat Imam Ahmad)
Abdullah bin Mas’ud dengan bijak lalu mengajarkan, jika seseorang berdoa kepada Allah, janganlah ia berkata: “Ya Tuhan kami, bebaskanlah kami dari fitnah ini.” Sebab, sesungguhnya tak ada seorang pun yang bisa terlepas dari ujian dan cobaan tersebut. Jika seseorang pulang ke rumah menemui istri, anak, dan hartanya, maka tak lain semua itu mengandung fitnah yang dikhawatirkan. Tak seorang pun bisa terbebas dari kumpulan fitnah ini, sebab sejatinya itu semua adalah kecenderungan yang telah digariskan sejak awal oleh Allah Ta’ala kepada seluruh manusia.
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul (Muhammad) dan (juga) janganlah kamu mengkhianati amanah-amanah yang dipercayakan kepadamu, sedang kamu mengetahui. Dan ketahuilah, bahwa hartamu dan anak-anakmu itu hanyalah sebagai cobaan dan sesungguhnya di sisi Allah-lah pahala yang besar.” (QS. Al-Anfaal: 27-28)
Kemudian, diulang lagi seruan kepada orang-orang yang beriman. Dibisikkan lagi kepada mereka bahwa harta dan anak-anak itu kadang-kadang dapat menjadikan manusia tidak mau memenuhi seruan Allah dan seruan Rasul. Karena, takut terhadap nasib anaknya nanti dan karena bakhil terhadap hartanya.
Kehidupan yang diserukan Rasulullah adalah kehidupan yang mulia, yang sudah tentu ada tugas-tugas yang harus dikerjakan untuk mencapainya, harus ada pengorbnan. Oleh karena itu, Alquran mengobati ambisi ini dengan mengingatkan mereka terhadap fitnah harta dan anak-anak. Karena, harta dan anak-anak merupakan tempat ujian dan cobaan.
Alquran juga mengingatkan mereka agar jangan lemah menghadapi ujian ini, jangan mundur dari perjuangan, dan jangan melepaskan diri dari beban amanat, janji, dan baiat. Alquran menganggap pelepasan diri dari semua ini sebagai pengkhianatan terhadap Allah dan Rasul. Juga pengkhianatan terhadap amanat-amanat yang dibebanan kepada umat Islam di muka bumi. Yaitu, amanat untuk menjunjung tinggi kalimat Allah dan menetapkan uluhiyyah-Nya saja bagi manusia, dan berpesan kepada manusia untuk menegakkan kebenaran dan keadilan.
Di samping kehati-hatian ini, diingatkan pula mereka terhadap pahala yang besar dari sisi Allah kalau mereka dapat menanggulangi fitnah harta dan anak-anak, yang kadang-kadang menghalangi manusia dari berkorban dan berjihad.
Menghindarkan diri dari tugas-tugas sebagai umat Islam di muka bumi merupakan pengkhianatan terhadap Allah dan Rasul. Persoalan pertama dalam agama Islam ini adalah persoalan ‘Laa ilaaha illallah, Muhammad Rasulullah.’ Tidak ada Tuhan kecuali Allah, dan Nabi Muhammad adalah utusan Allah. Persoalan mengesakan Allah terhadap uluhiyyah, dan menerima dengan sepenuh hati akan semua ini menurut apa yang disampaikan oleh Nabi Muhammad saja.
Manusia dalam seluruh sejarahnya, tak pernah mengingkari keberadaan Allah sama sekali. Mereka hanya mempersekutukan Allah dengan tuhan-tuhan lain, yang kadang-kadang, dan ini hanya sedikit, dalam bidang akidah dan ibadah. Adakalanya, dan ini yang terbanyak, dalam masalah hukum dan kedaulatan. Inilah yang lebih dominan dalam kemusyrikan.
Oleh karena itu, persoalan utama agama Islam ini bukan mengajak manusia untuk mempercayai uluhiyyah Allah. Tetapi, mengajak mereka untuk mengesakan uluhiyyah bagi Allah saja, untuk bersaksi bahwa tidak ada ilah selain Allah. Yakni, mengesakan Allah sebagai satu-satunya yang berdaulat mengatur kehidupan mereka di dunia ini. Juga mengakui-Nya sebagai yang berdaulat untuk mengatur alam semesta, sebagai implementasi firman Allah: “Dialah Tuhan (Yang disembah) di langit dan Tuhan (Yang disembah) di bumi.” (QS. Az-Zhukhruf: 84)
Juga mengajak mereka bahwa hanya Rasulullah yang membawa wahyu dari Allah dan menyampaikannya kepada mereka. Dengan demikian, mereka berkewajiban mematuhi segala ajaran yang beliau sampaikan. Inilah persoalan utama agama Islam, sebagai itikad yang harus ditanamkan dan dimantapkan di dalam hati, dan sebagai gerakan yang harus diaplikasikan di dalam kehidupan. Karena itu, menghindarkan diri dari hal ini adalah pengkhianatan terhadap Allah dan Rasul.
Allah mengingatkan hal ini kepada golongan Islam yang telah beriman kepada-Nya dan telah menyatakan keimanannya ini. Sehingga, mereka mempunyai tugas untuk berjuang guna merealisasikan petunjuknya dalam dunia nyata. Juga supaya bangkit menunaikan tugas jihad ini terhadap jiwa, harta, dan anak-anak.
Allah juga mengingatkan mereka agar jangan mengkhianati amanat yang mereka usung pada hari mereka berbaiat kepada Rasulullah untuk memeluk Islam. Islam itu bukan sekadar ucapan dengan lisan, bukan sekadar retorika dan pengakuan-pengkuan. Islam adalah manhaj kehidupan yang sempurna dan lengkap. Tetapi, untuk menegakkannya selalu menghadapi hambatan-hambatan dan kesulitan-kesulitan.
Islam adalah manhaj untuk membangun realitas kehidupan di atas landasan Laa ilaaha illallah, yang mengembalikan manusia kepada menyembah Tuhan mereka Yang Mahabenar, mengembalikan masyarakat kepada hukum dan syariat-Nya. Mengembalikan para thaghut yang melampaui batas kepada uluhiyyah Allah dan kedaulatan-Nya dari kezaliman dan tindakan melampaui batas.
Juga, mengamankan kebenaran dan keadilan bagi semua manusia, menegakkan keadilan di antara mereka dengan timbangan yang mantap, memakmurkan bumi, dan melaksanakan tugas khilafah di muka bumi dengan menggunakan manhaj Allah. Semua itu merupakan amanat yang barangsiapa tidak menunaikannya berarti telah berkhianat, melanggar perjanjian kepada Allah, dan merusak baiat yang telah diikrarkannya kepada Rasulullah.
Mereka semua perlu berkorban, bersabar, dan tabah. Mereka harus dapat menanggulangi fitnah harta dan anak. Juga melihat pahala yang besar di sisi Allah, yang disimpan untuk hamba-hamba-Nya yang terpercaya mengemban amanat-amanat-Nya, yang sabar, suka mengalah, dan suka berkorban. “Ketahuilah bahwa hartamu dan anak-anakmu itu hanyalah sebagai cobaan dan sesungguhnya di sisi Allahlah pahala yang besar.” (QS. Al-Anfaal: 28)
Alquran ini berbicara kepada eksistensi manusia. Karena, Sang Pencipta mengetahui segala sesuatu yang tersembunyi pada manusia ini, mengetahui yang lahir dan yang batin, mengetahui jejak-jejak langkah dan perjalanan hidupnya. Allah mengetahui titik-titik kelemahan pada diri manusia. Dia mengetahui bahwa ambisi terhadap harta dan anak-anak itu merupakan titik kelemahan paling dalam pada diri mereka.
Oleh karena itu, di sini, Dia mengingatkan hakikat pemberian harta dan anak-anak itu. Allah memberikan harta dan anak-anak kepada manusia untuk menguji dn memberi cobaan kepada mereka dengannya.
Harta dan anak termasuk perhiasan dunia yang notabene adalah ujian dan cobaan. Karena, Allah hendak melihat apa yang diperbuat dan dilakukan seorang hamba terhadap harta dan anak ini. Apakah dia mau mensyukurinya dan menunaikan hak-hak nikmat yang diperolehnya itu? Ataukah, malah sibuk dengannya sehingga lupa menunaikan hak-hak Allah? “Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya).” (QS. Al-Anbiyaa: 35)
Maka, fitnah atau cobaan itu bukan hanya dengan kesulitan, kesengsaraan dan sejenisnya saja. Tetapi, fitnah itu juga bisa berupa kemakmuran dan kekayaan. Termasuk kemakmuran dan kesenangan itu adalah harta dan anak-anak. “Ketahuilah bahwa hartamu dan anak-anakmu itu hanyalah sebagai cobaan.”
Apabila hati sudah menyadari posisi harta dan anak-anak sebagai ujian dan cobaan, maka kesadaran itu akan membantunya untuk senantiasa berhati-hati, menyadari dan mewaspadai, agar jangan sampai ia tenggelam, lupa, dan terbenam dalam ujian dan fitnah.
Kemudian Allah tidak membiarkan manusia tanpa pertolongan dan bantuan. Karena, manusia itu kadang-kadang merasa lemah, setelah menyadari semua itu, untuk memikul beratnya pengorbanan dan tugas. Khususnya, pada titik kelemahannnya yaitu terhadap harta dan anak-anak.
Maka, Allah memanggil-manggil mereka untuk mendapatkan sesuatu yang lebih baik dan lebih kekal. Sehingga, dengan adanya keinginan untuk mendapatkannya, ia menjadi tabah dan kuat menghadapi ujian itu. “Dan bahwa di sisi Allah terdapat pahala yang besar.”
Allah lah yang memberi manusia harta dan anak. Di balik itu, di sisi-Nya terdapat pahala yang besar bagi orang yang dapat menanggulangi fitnah harta dan anak-anak. Dengan demikian, tidak seorang pun yang pantas mengabaikan amanat dan tidak mau berkorban untuk jihad.
Kesadaran inilah yang dapat membantu manusia yang lemah, yang diketahui oleh Sang Maha Pencipta titik-titik kelemahannya. “Dan manusia dijadikan bersifat lemah.” (QS. An-Nisaa: 28)
Islam adalah manhaj yang lengkap tentang akidah dan pandangan hidup, tarbiyah dan pemberian arahan, masalah kewajiban dan tugas-tugas manusia. Islam adalah manhaj atau aturan Allah Yang Maha Mengetahui, karena Dia Yang Maha Pencipta. “Apakah Allah Yang menciptakan itu tidak mengetahui (yang kamu lahirkan dan rahasiakan); dan Dia Mahahalus lagi Maha Mengetahui?” (QS. Al-Mulk: 14)