Terkadang orang yang dekat dengan maqam bisa mendatangkan ‘ibarat, yaitu memberikan nasihat tentang ma’rifat. Dan terkadang bisa mendatangkan ‘ibarat, tegasnya mendatangkan kejadian ma’rifat, orang yang sudah sampai ke maqam ma’rifat. Nah datangnya ‘ibarat itu keliru kecuali bagi orang yang mempunyai mata hati yang sempurna dan bersih.
Kejadian ma’rifat terkadang diceritakan oleh orang yang baru dekat dengan ma’rifat, dan terkadang juga diceritakan oleh orang yang sudah ma’rifat.
Bisa menceritakan maqam ma’rifat itu tidak menunjukkan bahwa orang tersebut (yang bicaranya) sudah ma’rifat. Sebab walaupun seseorang belum sampai ke maqam ma’rifat terkadang sudah bisa menceritakan, yaitu dengan berusaha melalui jalan-jalannya, sehingga walaupun belum sampai juga sudah bisa menceritakan. Nah ucapannya ini tidak bisa dijadikan ukuran, sehingga orang-orang tidak bisa menentukan apakah sudah ma’rifat atau belum.
Tetapi bagi orang yang mata hatinya bersih dan sempurna serta dibukakan pintu ma’rifatnya, mereka bisa mengetahui ucapan (omongan) kema’rifatan. Diantaranya adalah orang yang belum sampai ke ma’rifat itu omongannya sering panjang, sedangkan orang yang sudah ma’rifat omongannya sering ringkas (pendek).
Misalnya seperti seorang guru yang menjelaskan bab haji, maka orang-orang yang mengerti akan bisa membedakan antara yang sudah pergi ke Mekah untuk berhaji dengan yang belum ke Mekah. Maka bila si guru belum ke Mekah maka penjelasannya akan panjang, sedangkan kalau sudah ke Mekah penjelasannya akan ringkas (pendek)
Diambil dari kitab Al Hikam karangan Assyeikh al Imam Ibni ‘Athoillah Assukandari (hikmah keseratus delapan puluh satu)