Keterangan yang diterima dari Syeikh Ibrahim bin Adham rahimahullaah, beliau pernah ditanya mengenai apa yang menyebabkan dirinya menemukan zuhud, maksudnya perkara apa yang bisa membuat beliau menyukai meninggalkan kesenangan dunia dan mencari (mendapatkan) kesenangan akhirat.
Sudah diriwayatkan bahwa sebenar-benarnya Syeikh Ibrahim itu adalah raja di negaranya, lalu beliau meninggalkan kerajaannya, untuk kemudian beribadah dengan sungguh-sungguh kepada Allah di Mekah dan di luar Mekah.
Diterangkan dalam kitab Arrisalatul Qusyairiyyah, Syeikh Ibrahim adalah Abu Sihaq Ibrahim bin Manshur, berasal dari kota Kurta Balkhi. Beliau adalah anak raja, lalu pada suatu waktu beliau keluar untuk berburu hewan di gunung. Beliau mencari kelinci dan burung, lalu datanglah hatif (ada suara tidak terlihat yang bicaranya) kepada beliau,“Hai Ibrahim, apakah untuk ini kamu diciptakan oleh Allah atau untuk ini kamu sudah diperintah Allah?”
Kemudian datang lagi hatif dari lengkungan sela kudanya, “Demi Allah, bukan untuk ini pekerjaan kamu sesudah diciptakan oleh Allah, dan bukan untuk ini pekerjaan kamu yang sudah diperintahkan Allah.”
Syeikh Ibrahim turun dari kudanya dan menemukan tukang gembala bapaknya, lalu beliau mengambil jubahnya tukang gembala dari bulu, kemudian dipakai oleh beliau. Setelah itu beliau memberikan kudanya kepada tukang gembala tersebut beserta bawaannya.
Syeikh Ibrahim kemudian masuk ke gunung, lalu berangkat sampai masuk ke Mekah, lalu beliau menemani Imam Sufyan ats Tsauri dan Imam Fudhail bin ‘Iyadh. Kemudian beliau berangkat ke negara Syam (Syiria), dan meninggal di sana.
Beliau makan dari hasil kerajinan tangannya, seperti hasil dari menjadi buruh memanen, memetik buah-buahan, dan buruh hasil mengurus kebun dan lain sebagainya.
Syeikh Ibrahim berkata,”Aku bisa menemukan zuhud disebabkan oleh tiga perkara. Yang pertama adalah aku melihat pekuburan keadaannya menakutkan, maksudnya yang memutuskan hati dari yang disenanginya, sambil tidak ada yang memberanikan kepadaku (tidak ada orang yang menenteramkan hatiku). Yang kedua adalah aku melihat jalan yang panjang, artinya perjalanan yang jauh di akhirat, sambil tidak ada bekal dan tidak ada yang menolong dalam menempuh perjalanan. Dan yang ketiga aku melihat dzat yang jabbar, dzat Allah swt yang maksa ‘abdi-Nya dalam segala perkara yang dikehendaki oleh-Nya. Itu yang akan menghukumi, sambil tidak ada bagi diriku hujjah. Maksudnya perkara yang menunjukkan terhadap sah nya pengakuanku.”
Sumber: Kitab Nashaihul ‘ibaad karangan Syeikh Muhammad Nawawi bin ‘umar