Suami boleh memukul dengan pukulan yang tidak membuatnya sakit parah, tidak membuatnya luka bukan pada bagian muka, dan bukan pula pada anggota yang mematikan, jika cara demikian akan membuahkan faedah menurut dugaan si suami, sekalipun dengan memakai cambuk dan tongkat.
Akan tetapi, menurut Ar Rauyani alat yang dipakai hendaknya sapu tangan atau dengan tangan kosong. Pukulan tersebut dilakukan karena si istri membangkang tidak mau taat, sekalipun pembangkangan (nusyuz)nya tidak berulang-ulang. Lain halnya dengan pendapat yang disebut di dalam kitab Al Muharrar.
Karena adanya nusyuz, maka hak giliran bagi istrinya digugurkan.
Bentuk nusyuz
Di antara bentuk nusyuz ialah mereka (para istri) menolak datang ke rumah suaminya di saat si suami mengundang mereka, sekalipun istri yang diundang sedang sibuk dengan pekerjaannya sendiri, karena sikap seperti itu berarti menentang.
Memang tidak dikatakan sebagai istri yang nasyiz (membangkang) jika istri yang bersangkutan mengalami uzur, misalnya sedang sakit; atau dia adalah wanita yang terhormat dan pemalu, tidak biasa keluar menampakkan diri, maka tidak usah baginya memenuhi undangan suaminya. Untuk istri seperti itu si suami hanya melakukan giliran untuknya di rumahnya.
Suami boleh mendidik istrinya jika si istri berani mencaci maki dirinya.
Suami berdosa bila menceraikan istri yang belum penuh menerima haknya
Suami berdosa karena menceraikan istri yang belum sepenuhnya menerima haknya, padahal waktu penunaian haknya telah tiba. Sekalipun talak yang dijatuhkannya adalah talak raj’i. Ibnu Rif’ah memberikan komentarnya, yaitu: selagi hal tersebut bukan karena permintaan dari pihak istrinya.
Sumber: Kitab Fat-hul Mu’in karangan Zainuddin bin Abdul Aziz al Malibari al Fannani