Siapa saja yang menetapkan dirinya memiliki sifat tawadhu, atau dirinya mengaku-ngaku tawadhu, maka itu berarti kenyataannya orang itu takabur.
Di bawah ini akan dijelaskan hakikatnya tawadhu, yaitu kebalikannya dari takabur. Yang disebut tawadhu adalah merasa rendah diri serta selamanya mengikuti terhadap keharusan. Maka orang yang tawadhu kepada Allah adalah orang yang mengikuti setiap perintah Allah, yang tawadhu kepada guru adalah yang nurut terhadap gurunya, yang tawadhu kepada orang tua adalah yang nurut terhadap segala keharusan dari ibu bapaknya, dan lain-lain.
Nah sifat tawadhu itu adalah salah satu sifat terpuji atau salah satu sifat yang luhur. Dimana-mana orang mengaku-ngaku dirinya memiliki sifat terpuji, maka itu berarti dirinya mengaku-ngaku dirinya yang luhur. Sedangkan orang yang menetapkan keluhuran dirinya itu termasuk ke dalam orang yang takabur.
Jadi hakikatnya orang yang tawadhu itu merasa dirinya rendah, bukan orang yang merasa dirinya tawadhu.
Kesimpulannya adalah jangan sampai kita semua merasa bahwa diri kita itu lebih dari orang lain, jangan merasa kita disayang oleh Allah sedangkan orang lain tidak, jangan merasa diri kita berilmu sedangkan orang lain bodoh, dan lain sebagainya. Hal ini akan dapat menjerumuskan kita ke dalam sifat-sifat yang buruk, seperti sombong dan takabur, termasuk juga merasa bahwa diri kita itu sudah memiliki sifat tawadhu.
Diambil dari kitab Al Hikam karangan Assyeikh al Imam Ibni ‘Athoillah Assukandari (hikmah kedua ratus dua puluh delapan)